News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Rektor UNS Jadi Pembicara dalam Simposium Nasional Kependudukan Tahun 2025 di Padang

Rektor UNS Jadi Pembicara dalam Simposium Nasional Kependudukan Tahun 2025 di Padang

 

Rektor UNS Jadi Pembicara dalam Simposium Nasional Kependudukan Tahun 2025 di Padang



ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (www.Alexainfoterkini.com)

PADANG  — Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. Hartono, dr. M.Si. menjadi salah satu pembicara dalam Simposium Nasional Kependudukan Tahun 2025 di Universitas Negeri Padang pada Kamis (11/9/2025). Dalam kesempatan tersebut, Prof. Hartono menyampaikan materi dengan tema ‘Memberdayakan Lansia untuk Memperpanjang Bonus Demografi’.

Prof. Hartono menjelaskan bahwa bonus demografi merupakan kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif (0–14 tahun dan di atas 64 tahun). Saat ini, jumlah penduduk usia produktif di Indonesia mencapai 186,77 juta jiwa dan diproyeksikan meningkat sekitar 5% menjadi 196,13 juta jiwa pada tahun 2025. Angka tersebut diperkirakan terus bertambah menjadi 203,08 juta jiwa pada tahun 2030, bahkan dapat mencapai 208 hingga 220 juta jiwa pada tahun 2045.

Indonesia saat ini telah memasuki struktur ageing population, yang ditandai dengan persentase penduduk lanjut usia (lansia) mencapai lebih dari 10%. Angka tersebut diproyeksikan terus meningkat menjadi 14,6% pada tahun 2030, 16,6% pada tahun 2035, dan 18,3% pada tahun 2040. Pada tahun 2045, jumlah lansia diperkirakan mencapai sekitar satu perlima dari total penduduk Indonesia, yaitu 20% atau sekitar 65–66 juta jiwa.

Dalam konteks kependudukan, rasio ketergantungan lansia menggambarkan perbandingan antara jumlah penduduk usia produktif dengan jumlah penduduk usia tidak produktif, sehingga menjadi indikator penting dalam melihat tantangan pembangunan di masa depan.

Dengan semakin bertambahnya jumlah lansia sebagai kelompok usia kurang produktif, beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk membiayai kehidupan penduduk tidak produktif juga akan meningkat. Data menunjukkan bahwa rasio ketergantungan lansia pada tahun 2021 mencapai 16,76%, yang berarti setiap 100 orang penduduk usia produktif (15–59 tahun) harus menanggung setidaknya 17 orang lansia. Angka ini naik 1,22 poin dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 15,54%.

“Oleh karena itu, diperlukan upaya strategis agar lansia dapat tetap sehat, mandiri, dan aktif. Dengan begitu, beban ketergantungan pada kelompok usia produktif dapat berkurang, sekaligus mendorong kontribusi lansia terhadap pertumbuhan ekonomi melalui aktivitas kerja yang masih bisa mereka lakukan,” terang Prof. Hartono.


Prof. Hartono menyoroti kondisi kesejahteraan lansia di Indonesia yang masih menghadapi tantangan besar. Tidak semua lansia memiliki jaminan sosial, dana pensiun, atau bahkan sumber pendanaan lain yang mampu menopang kebutuhan hidup mereka (BPS, 2024). Data menunjukkan bahwa pada tahun 2024 hanya 5,01% rumah tangga lansia yang pembiayaan utamanya berasal dari jaminan pensiun, sementara 83,74% bergantung pada penghasilan anggota rumah tangga yang bekerja. Sebanyak 10,97% dibiayai dari kiriman uang atau barang pihak lain, dan hanya 0,28% yang mengandalkan hasil investasi seperti deposito, royalti, saham, maupun bunga bank. Lebih jauh, jumlah lansia yang mampu menopang kehidupannya dari hasil investasi justru mengalami tren penurunan. Pada 2016, tercatat 0,75% rumah tangga lansia menjadikan hasil investasi sebagai sumber pembiayaan utama. Namun, proporsinya terus menurun hingga mencapai titik terendah dalam hampir satu dekade, yakni 0,28% pada tahun 2024 (BPS: Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024).

Di sisi lain, kondisi kesehatan lansia menunjukkan tren membaik. Angka kesakitan penduduk lansia terus menurun, dari 24,35% pada tahun 2020, menjadi 22,48% pada 2021, dan kembali turun menjadi 20,71% pada 2022. “Pada umumnya, penyakit yang dialami oleh lansia di Indonesia merupakan penyakit tidak menular yang bersifat degeneratif, seperti penyakit jantung, diabetes mellitus, stroke, rematik, dan cedera. Penyakit-penyakit tersebut termasuk kategori kronis dengan biaya perawatan yang relatif besar,” imbuhnya.

Prof. Hartono menekankan bahwa terdapat sejumlah tantangan utama yang dihadapi lansia di Indonesia, antara lain meningkatnya rasio ketergantungan lansia, keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan, jaminan sosial, dan peluang kerja, adanya diskriminasi usia (ageism) dalam mencari lapangan pekerjaan, serta beban perawatan yang lebih banyak ditanggung oleh keluarga.

Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah telah menjalankan berbagai program, di antaranya program Bina Keluarga Lansia, layanan BPJS Kesehatan dan program sosial dari Kementerian Sosial, serta penguatan layanan kesehatan berbasis komunitas melalui Posyandu Lansia.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Hartono juga menyampaikan sejumlah rekomendasi terkait pemberdayaan lansia. Ia menekankan pentingnya penguatan budaya hidup sehat, integrasi program pemberdayaan lansia yang berkelanjutan, serta pengembangan skema pekerjaan produktif yang sesuai dengan kapasitas mereka. Selain itu, Prof. Hartono juga merekomendasikan peningkatan akses layanan kesehatan dan jaminan sosial yang inklusif, pelatihan keterampilan serta literasi digital bagi lansia, hingga penerapan kebijakan anti-ageism untuk mencegah diskriminasi berdasarkan usia.

“Budaya hidup sehat bagi lansia dapat diwujudkan melalui berbagai langkah sederhana namun penting, seperti melakukan aktivitas fisik secara rutin (misalnya berjalan kaki atau senam), mengonsumsi makanan bergizi seimbang yang kaya buah, sayur, dan protein, menjaga kualitas tidur yang cukup, menghindari rokok dan alkohol, serta mampu mengelola stres dengan baik. Selain itu, lansia juga perlu menjaga hubungan sosial yang harmonis dan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin,” ujar Prof. Hartono.

Prof. Hartono menegaskan bahwa lansia bukanlah beban, melainkan aset bangsa. Dengan memberdayakan lansia melalui pola hidup sehat dan dukungan yang tepat, Indonesia dapat memperpanjang bonus demografi sekaligus mempersiapkan diri menuju Indonesia Emas 2045 yang inklusif dan berkelanjutan.

Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.