News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Peringati Hari TBC Sedunia, Dokter RS UNS Ajak Masyarakat Turut Menekan Kasus TBC di Indonesia

Peringati Hari TBC Sedunia, Dokter RS UNS Ajak Masyarakat Turut Menekan Kasus TBC di Indonesia

 

SOLO - Sejak World Health Organization (WHO) mengumumkan Indonesia menempati peringkat ke-3 negara dengan kasus Tuberkulosis (TBC) tertinggi di dunia pada Oktober 2021, Dokter Spesialis Paru Konsultan Rumah Sakit (RS) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. Reviono, dr., Sp.P(K), mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk meminimalisir  umin -faktor resiko yang menyebabkan kegagalan penanganan TBC. 

Hal tersebut disampaikan dalam acara Talkshow yang diselenggarakan oleh RS UNS untuk memperingati hari TBC sedunia dengan tajuk ‘Investasi untuk Eliminasi TBC, Selamatkan Bangsa’, Selasa (22/3/2022) melalui live streaming official Instagram @rumahsakituns dan YouTube Rumah Sakit UNS. 

Prof. Reviono menyampaikan target dunia di tahun 2030 yaitu kasus-kasus TBC insidensinya akan berkurang 80% menjadi 20% dari angka yang sekarang. Kemudian juga angka kematiannya berkurang 90% menjadi 10%. “Untuk mendapatkan target eliminasi itu tidak mudah, karena ada banyak permasalahan yang sepenuhnya harus didukung oleh segenap lapisan masyarakat. Seperti, mengurangi  umin -faktor resiko yang menyebabkan kegagalan penanganan TBC. Karena pasti butuh anggaran, tenaga, dan pikiran, jadi investasinya adalah  untuk menguatkan hal-hal yang dapat mencegah ketidakberhasilan dari penanganan TBC itu sendiri,” ujarnya.

TBC secara medis dikenal sebagai TB ini adalah penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis yang sering menyerang jaringan paru. Tapi sebenarnya tidak hanya paru, bisa jadi  umin  ke seluruh organ seperti tulang, perut, kelenjar getah bening, bahkan bisa menyerang selaput otak atau bahkan otak itu sendiri. Penyerangan di bagian mana saja tetap berbahaya. Misalnya, menyerang paru akan berbahaya  jika itu sampai mengakibatkan batuk darah dalam jumlah yang besar. Menyerang otak yang sebagai pusat saraf kendali manusia, tentunya juga akan berbahaya. Begitu juga TBC yang menyerang usus, yang mengakibatkan dinding perutnya tegang. TBC memiliki level keparahannya, jika sedikit organ yang terserang, berarti itu ringan dan belum terlambat untuk berobat. Tetapi  umin gejalanya berlanjut ditambah  umin ic a komorbid itu berbahaya. 

TBC merupakan penyakit lama yang sulit diberantas, karena memang ada beberapa pasien sering terdeteksi  umin  kasusnya sudah terlambat. Bahkan sudah menularkan kepada orang lain karena keterlambatan itu. “Karena penyakit kronik itu memiliki gejala yang pelan, sehingga  umin  orang terinfeksi TBC itu beradaptasi dengan gejalanya dan kadang tidak merasakan sakitnya. Jadi ada yang batuk, itu menyebutkan batuk biasa. Padahal batuk itu kan gak ada yang biasa, batuk adalah keadaan yang tidak normal. Itu yang menyebabkan TBC masih menjadi masalah di dunia saat ini,” tutur Prof. Reviono.

Secara umum memang TBC itu endemis. Di Indonesia  sendiri secara merata di setiap provinsi  umin ic sama, sehingga semua orang memiliki kemungkinan paparan untuk terinfeksi. Tetapi orang bisa terkena TBC itu memang ada  umin  resiko,  umin tidak ada  umin  resiko biasanya bisa ditanggulangi dengan imunitas seseorang. Faktor resiko dari kekebalan misalnya diabetes, gagal ginjal, dan malnutrisi. Kemudian  umin  resiko lain, kemungkinan tertular itu juga ada seperti di wilayah padat penduduk, ventilasi kurang, cahaya sinar matahari kurang yang memungkinkan pertumbuhan bakteri di lingkungan itu cukup besar.

Dalam  umin ic Covid-19 ini kasus TBC cenderung turun. Data-data menunjukkan bahwa TBC di dunia itu turun dan Indonesia termasuk yang menyumbangkan penurunan yang cukup besar. Kemungkinan yang paling besar dari penurunan kasus tersebut adalah adanya stay at home. Sehingga kekhawatiran masyarakat untuk pergi ke rumah sakit dan juga  umin  sakit pun tidak segera periksa karena mungkin sakitnya belum terasa berat. “Saya mengatakan, dengan  umin ic ini bukan berarti kasus TBC itu menurun. Jadi tetap saja ada penularan,  umin ini tidak terdeteksi karena beberapa hal, seperti adanya stay at home,” ucap Prof. Reviono

Perbedaan TBC dengan Infeksi Paru Lainnya

TBC dahulu disebut sebagai suspect, batuk berdahak selama 2 minggu (minimal) yang menjadi khasnya. Waktu TBC kronik (mula-mula), selain gejala paru ada gejala yang sistemik ke seluruh tubuh seperti demam, nafsu makan berkurang, penurunan berat badan. Dari konsepnya TBC berbeda dengan penyakit paru lain seperti asma dan pneumonia. TBC dengan pneumonia sama-sama menyerang paru melalui saluran udara, namun yang membedakan adalah penyebabnya, waktu, dan mula sakitnya. Pneumonia cenderung lebih cepat dan akut sifatnya.

Dari segi obatnya pun berbeda, TBC menggunakan obat anti TBC, sedangkan pneumonia tergantung pada penyebabnya. Pengobatan TBC cenderung lama karena, memang pembelahan bakterinya lebih lama. Bakteri TBC memiliki dinding yang tebal sehingga tidak mudah untuk dirusak, berbeda dengan bakteri pneumonia yang hanya hitungan jam saja.

Pencegahan dan Pengobatan TBC

Dibuktikan dengan penelitian, standarnya pengobatan dalam waktu 6 bulan itu dinyatakan selesai. Dalam artian, dari sisi bakteriologis sudah turun sehingga tidak menjadi masalah untuk kesehatan. Kerusakan-kerusakan di jaringan paru itu bervariasi, mulai dari yang ringan, sedang, dan berat. "Jadi kalau kerusakannya itu ringan, biasanya recovery atau revolusinya jaringan paru bisa sembuh kembali seperti semula. Tapi kalau yang sedang atau bahkan yang berat ada kavitas (lubang-lubang di paru) ini yang bisa menimbulkan gejala sisa, salah satunya batuk-batuk. Kalau ini batuk saja tanpa diikuti sistemik yang lain, tanpa demam, tanpa penurunan nafsu makan saya kira bisa diobati dengan obat batuk biasa, simptomatis saja. Tapi kalau ada lanjutan gejala-gejala ini memang harus waspada. Dokter akan menginvestigasi apakah ada kekambuhan atau mungkin ada komorbid atau penyakit yang menyertai, maka itu yang akan dipertimbangkan," ulas Prof. Reviono.

TBC memiliki 4 populasi, yaitu di luar sel yang mudah dibunuh dengan obat-obatan antibodi, di dalam sel intraseluler, di dalam suasana asam, dan dormant. Dormant ini sulit untuk bisa dibunuh, tetapi bisa seimbang antara pertahanan tubuh dengan keberadaan bakteri itu dan tidak menyebabkan gejala klinis. Sehingga untuk orang dengan imunitas yang bagus, kalau tidak ada gejala klinis tidak perlu diobati. "Jadi ini nanti mungkin ke arah TB laten. Kalau menunjukkan suatu respon imun, kita biasanya melakukan 2 cara, yaitu tes mantoux dan tes interferon gamma. Jika itu menunjukkan respon imun di atas nilai normal, baru itu diobati. Tapi obatnya preventif berupa terapi pencegahan TBC," ungkap Prof. Reviono.

Bagi orang yang sudah dinyatakan sembuh dari TBC, pasti ada kemungkinan untuk tertular kembali jika kontak kuat dengan yang terinfeksi. Diagnostik TBC ini sekarang menggunakan Tes Cepat Molekuler (TCM) dan merupakan yang paling sensitif. TCM ini memang tidak bisa dilaksanakan di Puskesmas, tetapi bisa mengirimkan sampelnya ke tempat yang memiliki fasilitas TCM.

Vaksin Bacillus Calmette–Guérin (BCG) untuk mencegah TBC ini memang belum efektif. Tetapi berdasarkan data, vaksin tersebut dapat mencegah TBC kearah yang lebih parah.

TBC pada Anak

Kondisi anak yang terinfeksi TBC berbeda dengan orang dewasa. Pada anak namanya primary complex atau TBC tertutup tidak terlibatnya saluran nafas. "Anak tidak bisa menularkan sebenarnya, sebaliknya apabila anak sudah diagnosis TBC, yang dicari justru yang menularkan siapa. Pada anak, dalam artian baru pertama terinfeksi itu tidak bisa menularkan ke anak yang lain, pada kesimpulannya anak bisa tertular tetapi tidak bisa menularkan," tegas Prof. Reviono.

Gejala TBC pada anak memang berbeda dengan dewasa. Kalau dewasa didominasi batuk berdahak, tetapi anak tidak didominasi batuk berdahak, hanya batuk saja yang mungkin disertai demam tidak terlalu tinggi tapi kronik, hampir setiap hari ada. Kemudian penurunan nafsu makan dan kurangnya berat badan dibandingkan teman sebayanya (dibawah normal). Meskipun TBC kelenjar yang menyerang anak dengan orang dewasa cenderung sama, tapi untuk diagnosisnya pada anak secara teoritis tidak bisa menggunakan TCM.



Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.