News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

HITUNG MUNDUR : SOLO DOCUMENTARY FILM FESTIVAL AKAN SEGERA BERDENGUNG

HITUNG MUNDUR : SOLO DOCUMENTARY FILM FESTIVAL AKAN SEGERA BERDENGUNG

 HITUNG MUNDUR : SOLO DOCUMENTARY FILM FESTIVAL AKAN SEGERA BERDENGUNG


ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (Alexainfoterkini.com). foto : istimewa

SOLO - SODOC (Solo Documentary) menghadirkan festival film dokumenter, Solo Documentary Film Festival di Surakarta. Rangkaian festival film tersebut akan dimulai pada Rabu (26/10/2022) sampai Sabtu (29/10/2022) di Rumah Banjarsari, Surakarta. Festival film ini merupakan agenda rutin setiap dua tahun sekali yang selalu diadakan di bulan Oktober, bulannya sumpah pemuda dengan spirit jiwa muda Indonesia. Tahun ini, SODOC Film Festival mengusung tema “Dengung” yang terinspirasi dari kata buzzer atau pendengung. SODOC Film Festival ingin mendengungkan hal-hal positif dengan perantara film dokumenter. Disamping itu, pengambilan tema tersebut didasari dengan arti kata dengung yaitu bunyi yang menggema. “Kami berharap, film dokumenter yang terpilih dapat menggemakan realita sosial yang terjadi di tengah masyarakat, ” Ujar tim Solo Documentary, Jumat (21/10/2022).

Pagelaran Solo Documentary Film Festival menghadirkan berbagai program pemutaran dan non-pemutaran, yang mana program pemutaran tersebut terdiri dari Kompetisi dan Eksibisi sedangkan program non- pemutaran meliputi Creative Sharing dan HIK (Hubungan Istimewa Komunitas”. Adapun layar kompetisi dalam Solo Documentary Film Festival antara lain, “Layar Liwet” yang mana sutradara dan produser merupakan pelajar SMA/ Sederajat dan “Layar Selat” dengan sutradara dan produser merupakan mahasiswa. Sedangkan di layar eksibisi, Solo Documentary Film Festival menghadirkan “Layar Tengkleng” dimana film dokumenter yang dikirimkan berupa film yang berkaitan dengan Solo (eks-karasidenan Surakarta) dan “Layar Brambang Asem” yang memiliki tema bebas. Uniknya, semua layar yang ada di Solo Documentary Film Festival memiliki nama makanan khas Solo. Makanan merupakan sumber energi dan gizi bagi tubuh. Seperti halnya dengan makanan, Solo Documentary Film Festival ingin menjadi sumber energi dan gizi bagi perfilman di Indonesia. Untuk program non- pemutaran, dihadirkan Creative Sharing  yang merupakan upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan sumber daya manusia di bidang perfilman dengan tema “Pengembangan Ide & Manajemen Produksi”. Sedangkan untuk Hubungan Istimewa Komunitas yang merupakan forum bertemunya komunitas yang bergerak di bidang seni dan budaya dengan topik obrolan berupa, Seni dan Komunitas, Berjejaring Komunitas, Dedikasi Komunitas, Penataan Program dan Ide Gagasan Komunitas, Kemandirian Berkomunitas, sampai dengan Manajemen Komunitas. Terdapat juga Diskusi Publik dengan beragam bahasan diskusi seperti, Distribusi Film oleh Viddsee Indonesia dan Festival Film Dokumenter (FFD), Mendeteksi Hoaks oleh Tempo, Ngomongin Perfilman oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI), dan Promosi Indonesiana oleh Indonesiana.

Ada banyak film dokumenter yang berpotensi dalam Solo Documentary Film Festival, namun hanya beberapa yang masuk ke dalam finalis di tiap layarnya setelah melalui proses kurasi. Berikut adalah finalis pada program kompetisi dan eksibisi. Pada Layar Liwet, ada “Mbeksa Rasa” yang disutradarai oleh Lucky Nor Muzaki dari SMK Negeri 3 Batu dengan isu disabilitas yang dibawakan oleh seorang guru ekskul tari di sebuah sekolah luar biasa. Kemudian terdapat “Ngantih” yang disutradarai oleh Afifah Putri Hidayah dari SMK Darur Abror Purbalingga dengan isu tradisi yang membawakan tradisi warga desa Tumanggal memintal benang sejak tahun 19880-an. Lalu “Ububan” yang disutradarai oleh Greyza Lukyana dari SMK Negeri 1Karanggayam dengan membawakan ububan yang merupakan tempat memperbaiki alat petani secara tradisional, dan “Wek-Wek” yang disutradarai oleh Lukman Maulana dari SMK Negeri Kaligondang Purbalingga yang membawakan seorang penggembala bebek dan pengolah telur asin, Sukirman dan istrinya, Manisah. Sedangkan dalam Layar Selat, terdapat “Menolak Diam” yang disutradarai oleh Arief Fitrian dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang mengisahkan kehidupan Badri, korban tragedy ’65 dalam memperjuangkan HAM. “My Father’s Love” yang disutradarai oleh Yosua Putra Wisena dari Institut Seni Indonesia dengan mengangkat cerita dirinya di masa covid-19 bersama keluarga. “Sintas Berlayar” yang disutradarai oleh Firgiawan dari Universitas Pendidikan Indonesia yang menceritakan tentang seorang nelayan penyandang disabilitas (tuna daksa) di Pangandaran. “Tarek Pukat” yang disutradarai oleh M. Anwar Roofiif dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, mengisahkan tradisi Tarek Pukat yang menjadi benturan bagi nelayan  untuk terus bertahan dari modernisasi. Sedangkan dalam program eksibisi di Layar Tengkleng, terdapat beberapa film terpilih diantaranya, “Muara Market Closed” yang disutradarai oleh Wahid Ihza Nyrrahman yang menceritakan tentang titik temu berbagai komunitas di Surakarta yang sempat popuker sampai akhirnya Pasar Legi mengalami kebakaran. “ Selaras” yang disutradarai oleh M. Kisra Anusyirwan menceritakan tentang kehidupan berdampingan yang damai antar dua lini agama Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan dan Masjid Al-Hikmah. “ The Farmer (Skoguru) “ yang disutradarai oleh Eko Fitri Yulyanto menceritakan seorang petani organik, Baskoro yang diwarisi oleh kakeknya. Untuk Layar Brambang Asem terdapat beberapa film pilihan seperti, “ Marganing Gesang” sutradara Galih Panggih Raharjo yang menceritakan tentang Waluyo, seorang dalang muda yang sedang berjuang mengejar karirnya. “ Positive” sutradara Daffa Amrullah yang menceritakan tentang pasien karantina Covid-19 dan kesehariannya di Wisma Atlet Pademangan. Yang terakhir ada “ The Longhouse of Apai Indai “ sutradara Pawadi Jihad yang mengisahkan Rumah Panjang Ngaung Keruh milik Orang Iban di Desa Labian yang terancam punah.

Selain itu, Solo Documentary Film Festival juga turut memutar Layar Spesial seperti “Homebound” sutradara Ismail Fahmi Lubis dengan mengisahkan Tari yang rindu pulang ke Indonesia setelah lebih dari 10 tahun bekerja di Taiwan. “Sungai” sutradara Tonny Trimarsanto yang merupakan film non dialog. “ Kilometer 50” sutradara Andi Bachtiar Yusuf yang mengangkat peristiwa penembakan laskar front pembela islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50. “Riwayatmu Kini” sutradara Fanny Chotimah yang menarasikan secara sederhana keroncong di Solo dari penggalan kisah orang-orang yang sudah dan pernah mendalami music keroncong. Tak kalah menarik, terdapat Layar Panorama yaitu Panorama Aceh dan Panorama Papua. Panorama Aceh menghadirkan Aceh Documentary dengan filmnya, “Siner Jaya (Toet)”, “Belantara Nauser” dan “Black Note” sedangkan Panorama Papua menghadirkan Papuan Voice dengan filmnya “Dari Hutan Kitong Hidup”, “Daerah Yang Hilang”, dan “Penjaga Bukit Isio”  

Solo Documentary Film Festival turut menggundang nama-nama yang tak asing untuk perfilman di Indonesia yang akan menjadi juri pada program kompetisi seperti, Allia Damaihati yang merupakan Festival Director dari Festival Film Dokumenter sekaligus juri dari berbagai festival film, Fanny Chotimah, seorang sutradara di film debutnya “ You and I” dengan beragam penghargaan bergengsi, Deny Tri Ardianto yang merupakan dosen prodi DKV UNS dengan karya filmnya yang telah diputar di banyak acara dan festival film, Vivian Idris, pendiri yayasan Biru Terong yang menjadi sutradara dan produser di berbagai film dokumenter bertemakan budaya dan pemberayaan perempuan, ia juga kerap menjadi pembicara dalam berbagai festival film dan forum diskusi, Ismail Fahmi Lubis yang merupakan salah satu sutradara di dokumenter di Indonesia dan film-film nya telah diputar di kancah nasional sampai internasional serta memperoleh penghargaan film dokumenter panjang terbaik di festival Film Indonesia tahun 2018, dan Aria Gardhadipura, seorang penulis naskah, sutradara, dan editor dengan beragam filmnya yang mendapatkan penghargaan dan nominasi bergengsi.

Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.