News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Legitimasi Dan Konstitusionalitas Pergantian Kepemimpinan Dalam Era Demokrasi Kontemporer Oleh : Prof. Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H.

Legitimasi Dan Konstitusionalitas Pergantian Kepemimpinan Dalam Era Demokrasi Kontemporer Oleh : Prof. Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H.

Legitimasi Dan Konstitusionalitas Pergantian Kepemimpinan Dalam Era Demokrasi Kontemporer

Oleh : Prof. Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H.


ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (Alexainfoterkini.com)

Sebagaimana diketahui apabila membahas mengenai pergantian kepemimpinan, penting bagi kita untuk terlebih dahulu menempatkan poin kepemimpinan dan demokrasi dalam satu kedudukan yang seimbang. Kepemimpinan merupakan unsur utama yang wajib dimiliki oleh seorang penguasa atau pemimpin, sedangkan demokrasi merupakan salah satu pengejawantahan konsep dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sebagai manifestasi kekuasaan berbasis kerakyatan yang menghasilkan penguasa atau pemimpin yang memiliki nilai-nilai demokrasi. 

Demokrasi merupakan bagian terpenting dalam penyelenggaraan kenegaraan, dimana pondasi atau landasan utama dalam penyelenggaraan demokrasi adalah adanya prinsip trias politica yang membagi menjadi tiga jenis lembaga negara yaitu eksekutif, yudikatif dan legislative. Demokrasi memberikan penjaminan kepada rakyat untuk dapat berperan aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu demokrasi juga akan menjadi pedoman utama pelaksana Sebagaimana diketahui apabila membahas mengenai pergantian kepemimpinan, penting bagi kita untuk terlebih dahulu menempatkan poin kepemimpinan dan demokrasi dalam satu kedudukan yang seimbang. Kepemimpinan merupakan unsur utama yang wajib dimiliki oleh seorang penguasa atau pemimpin, sedangkan demokrasi merupakan salah satu pengejawantahan konsep dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sebagai manifestasi kekuasaan berbasis kerakyatan yang menghasilkan penguasa atau pemimpin yang memiliki nilai-nilai demokrasi.  an kehidupan lembaga negara yang sehat dan dapat memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan bertata negara. 

Democracy Index yang dipublikasi oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Bahwa kemerosotan akan kedaulatan rakyat yang terjadi dalam proses demokrasi dan politik Indonesia dapat tercermin dari Indeks Demokrasi Indonesia yang di sejak tahun 2006 hingga 2020 memiliki nilai yang lemah dan tidak menunjukan suatu arah perbaikan. Democracy Index yang dipublikasi oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) terhadap 167 negara, menempatkan Indonesia pada tahun 2020 pada kategori flawed democracy dengan peringlat 67 jauh di bawah Malaysia pada peringkat 39, Timor Leste peringkat 44, dan Filipina pada peringkat 55. Angka Skor Indonesia pada tahun 2020 berada pada angka 6.30, yang apabila dilihat sejak tahun 2006.

Democracy Index ini dikalkulasikan berdasarkan lima kategori penilaian yang di antaranya adalah: : electoral process and pluralism, the functioning of government, political participation, political culture, and civil liberties.

Lebih lanjut penerapan demokrasi ini tentu tak lepas dari unsur utama penyelenggaraannya yaitu dengan adanya keterlibatan rakyat. Sebagaimana diketahui kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Adapun konsep demokrasi ini pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, dimana ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:

-Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan)

-Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang

-Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara

-Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat

Sebelum bicara pelaksanaan demokrasi, poin utamanya adalah sosok kepemimpinan. Keberadaan sosok pemimpin inilah yang nantinya akan menjadi tonggak sekaligus pemegang kendali atas konstitusi agar berjalan searah menuju demokrasi yang diinginkan. 

Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk mengoorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para staf/Anggota/bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan. 

Pemimpin pertama-tama haruslah seseorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para anggotan/staf/bawahannya

Selanjutnya menurut Wahjosumidjo (2005), Dengan kepemimpinan yang dilakukan seorang pemimpin juga menggambarkan arah dan tujuan yang akan dicapai dari sebuah organisasi. Sehingga dapat dikatakan kepemimpinan sangat berpengaruh bagi nama besar organisasi. Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu organisasi karena sebagian besar keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi ditentukan oleh kepemimpinan dalam organisasi tersebut. Apabila ditelisik terdapat tiga teori yang menjelaskan munculnya pemimpin yaitu sebagai berikut:

Teori Genetis: 

Pemimpin tidak dapat direkayasa melainkan muncul karena bakat yang luar biasa dibawa sejak lahir. Bisa dipengaruhi oleh gen keturunan orang tua, pemimpin dapat muncul karena situasi dan kondisi tertentu.

Pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakat-bakat alami yang luar biasa sejak lahirnya

Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga, yang khusus

Secara filsafat, teori tersebut menganut pandangan deterministis

Teori sosial (lawan Teori Genetis)

Pemimpin tidak dapat lahir begitu saja, tetapi harus disiapkan dan dibentuk untuk menjadi pemimpin. Tiap orang dapat menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan/kaderisasi/dan melalui proses pendidikan/pembelajaran

Pemimpin itu harus disiapkan, dididik dan dibentuk, tidak terlahirkan begitu saja

Setiap orang bisa menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri.

Teori Ekologis/Sintetis (muncul sebagai reaksi dari teori genetis dan sosial)

Bahwa seseorang akan sukses menjadi pemimpin bila sejak lahirnya dia telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini sempat dikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan; juga sesuai dengan tuntutan lingkungan/ekologisnya.

Teori inilah yang menjelaskan mengenai asal muasal dan ciri sosok pemimpin yang muncul, tentu teori ini memberikan penjelasan atas adanya bibit kepemimpinan yang akan dibawa oleh seorang pemimpin dan arah gaya kepemimpinannya. Setiap orang memiliki karakteristik yang membedakannya dengan orang lain, sehingga mewarnai perilaku dan gaya kepemimpinan seseorang. Munculah gaya kepemimpinan berupa demokratis, kharismatik, paternalistis, militeristik, otoriter, birokratis, dan populis/kerakyatan. 

Selanjutnya seorang pemimpin tidak akan terlepas dari   gaya kepemimpinannya maka berikut gaya kepemimpnan beserta dengan indikator ukurnya sebagai berikut:

Teori Jack W. Duncan

Gaya kepemimpinan Duncan digolongkan menjadi tiga jenis yaitu: a) otocratic style (gaya otokratik/birokratik), democratic style (gaya demokratik), dan laissez-faire (gaya bebas).

Gambar 1. Penggolongan gaya kepemimpinan


Semua penentuan kebijaksanaan dilakukan oleh pemimpin

Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan Keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin

Kebebasan penuh bagi Keputusan kelompok atau individu, dengan partisipasi minimal dari pemimpin, 2

Teknik-teknik dan langkah-langkah kegiatan didikte oleh atasan setiap waktu, sehingga langkah-langkah yang akan datang selalu tidak pasti untuk Tingkat yang luas

Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan kelompok dibuat, dan bila dibutuhkan petunjuk teknis, pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih

Bahan-bahan yang bermacam-macam disediakan oleh pemimpin yang membuat orang selalu siap bila dia akan memberikan informasi pada saat ditanya. Dia tidak mengambil bagian dalam diskusi kerja, 3

Pemimpin biasanya mendikte tugas kerja bagian dan kerja bersama setiap anggota

Sama sekali tidak ada partisipasi dari pemimpin dalam penentuan tugas

Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian tugas, 4

Pemimpin cenderung menjadi “pribadi” dalam pujian dan kecamannya terhadap kerja setiap anggota; mengambil jarak dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila menunjukkan keahliannya

Pemimpin adalah obyektif atau “fact-minded” dalam pujian dan kecamannya, dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan

Kadang-kadang memberi komentar spontan terhadap kegiatan anggota atau pertanyaan dan tidak bermaksud menilai atau mengatur suatu kejadian.

Teori Likert’s

Sistem 1

Sistem 2

Sistem 3

Sistem 4


Otokratis Kejam

Otokratis Baik

Demokratis Konsultatif

Demokrasi Partisipatif



Penjelasan :

Sistem 1

Pemimpin kurang bahkan tidak percaya pada bawahan untuk dilibatkan dalam membuat Keputusan, dan bila perlu pemimpin melaksanakan sebuah Keputusan untuk dilaksanakan oleh staff

Sistem 2

Dalam pola atau bidang yang telah ditentukan pihak bawahan dapat dilibatkan dalam membuat Keputusan, namun sanksi diterapkan secara saklek sebagai usaha untuk mendorong staff bekerja dengan baik

Sistem 3

Pimpinan mempunyai kepercayaan dan keyakinan kepada staff untuk dilibatkan secara partisipatif dalam membuat suatu Keputusan-keputusan penting, dan komunikasi secara two way traffic antar pimpinan dan bawahan berjalan baik dan normal

Sistem 4 

Pimpinan mempunyai kepercayaan dan keyakinan penuh kepada para staff dalam proses pembuatan Keputusan yang penting dan yang strategis dan hubungan antara atasan dan bawahan berjalan secara persahabatan (collegial).

Selanjutnya pemimpin haruslah memiliki beberapa kelebihan, diantaranya yaitu:

Kapasitas: kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara atau verbal facility, keaslian, kemampuan menilai.

Prestasi (achievement): gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan, perolehan dalam olahraga, dan atletik, dan sebagainya

Tanggung jawab: mandiri, berinisiatif, tekun, ulet, percaya diri, agresif, dan punya Hasrat untuk unggul

Partisipasi: aktif, memiliki sosiabilitas tinggi, mampu bergaul, kooperatif atau suka bekerjasama, mudah menyesuaikan diri, punya rasa humor

Status: meliputi kedudukan sosial ekonomi yang cukup tinggi, popular, tenar

Sifat Kenegarawanan

Kewibawaan

Penjelasan tentang kenegarawanan

Kenegarawanan mengandung muatan-muatan normatif yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan kualitas seorang politikus . Di dalam demokrasi, semua warga negara berhak menjadi politikus, tetapi tidak semua politikus memiliki kualitas kenegarawanan sehingga demokrasi menjadi arena kepentingan-kepentingan pragmatis belaka. 

Negarawan Tidak dibutakan oleh kepentingan kekuasaan semata, seorang negarawan tidak dapat dilepaskan dari keutamaan-keutamaan moral yang dimiliki oleh seorang manusia yang bijak dan bajik.

Kenegarawanan calon yang kalah

kualitas kenegarawanan para kandidat pemimpn  diukur dari pelaksanaan komitmen mereka untuk menjadi ”penjaga hukum”. Memang tidaklah mudah menerima kekalahan setelah menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan harta disertai imajinasi agung untuk memenangkan konstestasi. Bagaimana mungkin dukungan oleh sebagian kemudian berubah menjadi dukungan oleh keseluruhan? Itulah keajaiban sekaligus absurditas demokrasi elektoral! Karena itu, sangatlah berbahaya bagi keseluruhan jika kubu yang kalah tidak merelatifkan imajinasi politisnya di bawah sistem hukum. Menerima kekalahan merupakan sebuah keutamaan demokratis seorang kandidat yang telah terbukti memiliki dukungan suara yang mungkin hampir sama kuatnya dengan kandidat yang menang. Kualitas kenegarawanan ditunjukkan lewat pelaksanaan komitmennya pada hukum dan demokrasi. Namun, untuk menerima kekalahan dibutuhkan sikap seorang negarawan. Tanpa damai sejahtera di hati dan kebesaran jiwa seorang negarawan, mustahil menerima kekalahan.

Kenegarawanan pemimpin baru 

Pemimpin baru yang menang tidak lagi sendirian dengan kepentingan kubunya yang sewaktu kampanye lebih menunjukkan kepentingan kubunya. Dia sudah membawa momen keseluruhan di dalam fakta legal kemenangannya. Kualitas kenegarawanan ditunjukkan olehnya jika ia dapat merangkul kubu yang kalah di dalam sebuah gramatika kepentingan keseluruhan sebuah komunitas politis sehingga di dalamnya tidak ada lagi "kita dan mereka", melainkan hanya "kita". 

Seorang pemenang yang masih berbicara dalam gramatika kepentingan golongan tak lebih daripada seorang stasiastikos yang memerintah. Orang ini berbahaya bagi keseluruhan. Dalam Politikos, Plato mengatakan bahwa penguasa dan pejabat yang gagal mengikatkan diri mereka pada hukum adalah seorang penjahat yang mengejar kepentingan golongannya. Membereskan negara dari para penjahat bukan pekerjaan mudah karena godaan untuk menjadi pembela golongan sendiri sangatlah besar. 

Di sini kita bisa membedakan antara kenegarawanan yang sudah dan yang belum. Kenegarawanan calon yang kalah sudah terbukti begitu dia menerima kekalahan demi kepentingan keseluruhan. Akan tetapi, kenegarawanan seorang pemenang belum terbukti pada saat dia menerima kemenangannya, melainkan justru masih harus dibuktikan selama dia memerintah. Baru dalam proses ujian panjang pemerintahannya dia akan menyingkapkan diri, entah sebagai seorang negarawan atau sebenarnya hanyalah seorang politikus partai yang mementingkan golongannya saja, 

Penjelasan tentang kewibawaan

Menurut French dan Raven terdapat 5 sumber-sumber kewibawaan seorang pemimpin yang dapat menimbulkan kepatuhan pihak lain (baik individu maupun kelompok) kepadanya adalah:


Coersive power (wibawa karena mampu memaksa)

Reward power (wibawa karena mampu memberi imbalan)

Legitimate power (wibawa karena wewenang formal)

Referent power (wibawa karena mampu memberi teladan)

Expert power (wibawa karena memiliki keahlian)

Selanjutnya apakah kewibawaan dakan berpengaruh pada legitimasi .Teori David Easton bahwasanya legitimasi merupakan kepercayaan dari pihak Masyarakat bahwa sudah sewajarnya baginya untuk menerima  serta mematuhi penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu. 

Legitimasi penting dikarenakan: a) Legitimasi akan menciptakan kestabilan politik dan kemungkinan- kemungkinan perubahan sosial. Dukungan dan pengakuan Masyarakat memudahkan pemerintah mengatasi permasalahan dalam situasi yang sulit; b) Legitimasi akan membuka kesempatan yang semakin luas bagi pemerintah untuk memperluas bidang-bidang kesejahteraan yang hendak ditangani dan pada akhirnya akan meningkatkan kualitas kesejahteraan. 

Terdapat beberapa kriteria legitimasi kekuasaan:

Legitimasi sosiologis

Berkaitan dengan proses interaksi dalam masyarakat yang menimbulkan sebagian besar dari masyarakat menyetujui seseorang layak sebagai pemimpin mereka. Hal ini ditentukan berdasarkan pada keyakinan anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pantas untuk dihormati. Jika sebagai besar sudah percaya kekuasaan tersebut memiliki keabsahan secara sosiologis. Terdapat 3 corak legitimasi sosiologis seperti yang dikemukakan oleh Weber yakni pertama, kewenangan tradisonal dimana dalam pengambilan keputusan diserahkan pada seorang pemimpin atas dasar keyakinan tradisional atau sesuai dengan tradisi yang berlaku di masyarkat. Kedua, kewenangan karismatik yang didasarkan pada karisma seseorang. Ketiga, legal rasional berdasarkan pada aturan-aturan formal

Legitimasi Etis

Berkaitan dengan keabsahan wewenang kekuasaan politik atas dasar aspek norma-norma moral. Dalam artian pemerintah dalam setiap tindakannya harus mempertanggungjawabkan secara moral. Norma moral ini tujuannya supaya kekuasaan itu dalam setiap pembuatan kebijakannya sejalan dengan tuntutan kemanusiaan yang adil dan berada.

Legitimasi Instrumental

Masyarakat memberikan kepercayaan maupun dukungan terhadap pemimpin pemerintahan karna kesejahteraan materiil atau instrumental mampu dijamin oleh pemimpinnya

Legitimasi Hukum/legalitas

Keabsahan kekuasaan itu berhubungan dengan fungsi-fungsi kekuasaan negara dan tuntutannya supaya fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan hukum. Kepercayaan publik dipengaruhi oleh adanya keyakinan masyarakat bahwa keberadaan suatu pemerintahan atau peraturan yang berlaku..

Dalam legitimasi hukum, keberadaan konstitusi sebagai guide dan panduan dalam pelaksanaan pemerintahan bernegara tentu harus dipastikan terlaksana. Sebagai contoh berkaitan dengan pelaksanaan legitimasi kepemimpinan dalam sektor kenegaraan salah satunya dapat dilihat pada adanya legitimasi hukum atas presiden terpilih. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwasanya “ Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”. Selanjutnya dalam Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinyatakan bahwasanya:


Pasal 416

Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.

Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 (tiga) Pasangan Calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.

Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumtah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 (satu) Pasangan Calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah. perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.

Dapat dilihat bahwasanya Pasal 6A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi legitimasi hukum atas pemimpin/presiden yang terpilih melalui pemilihan umum dengan persyaratan sebagaimana disebutkan sebelumnya. 

Secara langsung legitimasi hukum ini tentu akan memberikan dampak pada legitimasi sosiologis dan etis yang beriringan mengikuti legitimasi hukum yang telah diberikan. Masyarakat secara langsung akan mengakui adanya presiden terpilih serta presiden dapat melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. 

Pengambilan contoh legitimasi pada presiden ini tentu bukan semata hanya pada tataran pimpinan kenegaraan, hal ini juga memberikan implikasi pada seluruh pimpinan terpilih diberbagai lini, seperti pimpinan universitas, pimpinan organisasi dan pimpinan lembaga lainnya. bahwasanya legitimasi hukum menjadi legitimasi utama yang didasarkan pada konstitusi yang ada, bahwa pemimpin harus diperoleh melalui konstitusi atau aturan yang berlaku dan dinyatakan sah. Ketidaksempurnaan, kecacatan hukum dan penyelewengan lain pada aturan hukum tentu berimplikasi pada ketidaksah-an pemimpin tersebut. 

Dampak legitimasi hukum yang berdampak pada legitimasi sosiologis dan etis, ini akan membawa seorang pemimpin dalam  perbuatan dan kegiatannya yang di dasarkan pada partisipasi dan consensus dari anggota kelompok atau Masyarakat, yang di sebut demokratis. 

 Sejak Indonesia berdiri para pendiri negara telah memilih sistem demokrasi dalam mengelola negara. Sistem demokrasi Indonesia terejawantahkan dengan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda di setiap era. 

Tabel 2. Perkembangan Gaya Kepemimpinan di Indonesia

Era Demokrasi

Titik Kasus

Corak Kepemimpinan, 1

Era Kemerdekaan dan Awal Pembentukan Negara (1945-1950)

Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan dari penjajahan Jepang dan Belanda, dipimpin oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Konsep kepemimpinan di awal kemerdekaan sangat dipengaruhi oleh ide-ide demokrasi liberal dan nasionalisme.

konsep kepemimpinan demokratis mulai diterapkan, meskipun masih dalam bentuk yang sangat muda dan menghadapi berbagai tantangan, termasuk perbedaan pandangan politik dan etnis,2

Era Demokrasi Parlementer dan Terpimpin (1950-1960)

Setelah Konstitusi RIS dan Konstitusi Sementara 1950, Indonesia mengadopsi sistem demokrasi parlementer. Kepemimpinan lebih difokuskan pada kerja sama antar-partai dan pemerintahan koalisi.

Pada akhir 1950-an, Presiden Soekarno memperkenalkan sistem "Demokrasi Terpimpin", yang mengurangi peran parlemen dan meningkatkan kekuasaan presiden. Ini menandai langkah mundur dari praktik demokrasi liberal. 3

Orde Baru (1966- 1998)

Setelah pengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto, Indonesia memasuki era Orde Baru yang ditandai dengan sistem Demokrasi yang cenderung otoriter. Walaupun ada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, kebebasan politik dan hak-hak sipil terbatas.

Pemilihan umum dilaksanakan tetapi dengan kontrol ketat, dan ruang untuk kepemimpinan demokratis sangat terbatas, 4

Era Refromasi dan Demokratisasi (1998-sekarang)

Krisis 1997-1998 dan gerakan pro-demokrasi mengakibatkan jatuhnya Soeharto. Ini membuka era Reformasi, di mana Indonesia mencoba kembali ke praktik demokrasi yang diinginkan oleh rakyat

Era ini ditandai dengan pemilihan umum dengan prinsip LUBER JURDIL, kebebasan pers, dan reformasi politik. Reformasi juga membawa desentralisasi dan penguatan otonomi daerah, memungkinkan munculnya kepemimpinan lokal yang lebih demokratis.

Selanjutnya menurut pendapat saya bahwa saat ini kita memasuki Era Demokrasi Kontemporer. Demokrasi kontemporer adalah bentuk dan praktik demokrasi yang berlaku dan berkembang di era modern, hal ditandai oleh berbagai ciri khas dan tantangan unik. 

Konteks ini berbeda dari era demokrasi sebelumnya karena beberapa faktor, termasuk globalisasi, kemajuan teknologi, dan perubahan sosial-ekonomi. Beberapa karakteristik dan isu utama dalam era demokrasi kontemporer:

Teknologi dan Media Sosial: Kemajuan teknologi, khususnya internet dan media sosial, telah mengubah cara orang berkomunikasi, mendapatkan informasi, dan berpartisipasi dalam politik. Sementara ini memberikan peluang untuk partisipasi yang lebih luas, juga menimbulkan tantangan seperti disinformasi, polarisasi, dan manipulasi opini publik.

Globalisasi: Interaksi antar negara yang meningkat telah mempengaruhi demokrasi dalam berbagai cara. Globalisasi ekonomi, misalnya, dapat mempengaruhi kebijakan domestik, sementara isu global seperti perubahan iklim dan migrasi memerlukan respons politik yang terkoordinasi.

Kebangkitan Populisme: Banyak negara telah menyaksikan munculnya pemimpin dan gerakan populis yang seringkali menantang norma-norma demokrasi liberal. Populisme ini terkadang menciptakan polarisasi dan menantang prinsip-prinsip seperti kebebasan pers dan independensi lembaga hukum.

Perubahan Sosial dan Ekonomi: Isu seperti ketidaksetaraan ekonomi, perubahan demografis, dan perubahan norma sosial mempengaruhi politik demokratis. Partai politik dan sistem pemilihan umum harus beradaptasi dengan kebutuhan dan harapan yang berubah dari masyarakat.

Keterlibatan Warga Negara: Ada peningkatan keterlibatan warga negara dalam politik melalui berbagai cara, dari demonstrasi hingga petisi online. Warga lebih sadar akan hak dan tanggung jawab mereka dalam demokrasi.

Tantangan terhadap Demokrasi Liberal: Sistem demokrasi liberal menghadapi tantangan dari dalam dan luar. Misalnya, otoritarianisme yang meningkat di beberapa negara menantang ide-ide demokratis, sementara di dalam, krisis kepercayaan terhadap lembaga dan elit politik juga menjadi masalah.

Keamanan Siber dan Privasi: Masalah keamanan siber dan privasi data menjadi semakin penting dalam politik kontemporer. Perlindungan data pribadi warga dan integritas sistem pemilihan dari serangan siber adalah isu utama.

Perubahan Iklim dan Keadilan Lingkungan: Isu lingkungan, terutama perubahan iklim, telah menjadi topik politik yang penting. Kebijakan yang berkelanjutan dan aksi global adalah kunci dalam mengatasi tantangan ini.

Respons terhadap Pandemi dan Krisis: Bagaimana pemerintah demokratis merespons krisis, seperti pandemi COVID-19, menunjukkan kekuatan dan kelemahan demokrasi dalam menghadapi situasi darurat.

Inklusi dan Keadilan Sosial: Isu-isu seperti hak-hak minoritas, kesetaraan gender, dan keadilan sosial semakin mendapatkan perhatian dalam politik demokratis.

Era demokrasi kontemporer ini ditandai oleh kompleksitas dan dinamika yang tinggi, memerlukan adaptasi yang konstan dari lembaga-lembaga demokratis dan keterlibatan yang berkelanjutan dari warga negara.

Selanjutnya apakah Pancasila dapat di aplikasikan dalam Kepemimpinan  era demokrasi kontemparer ini.

 Kontruksi   aplikasi dari setiap sila Pancasila dalam kepemimpinan di era Demokrasi kontemporer ini menurut pendapat saya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Ketuhanan Yang Maha Esa

Kepemimpinan Inklusif dan Toleran: Menghargai keragaman agama dan keyakinan, serta memastikan bahwa kebijakan dan tindakan pemerintah tidak diskriminatif terhadap kelompok agama tertentu.

Etika Berbasis Nilai Spiritual: Menerapkan nilai-nilai etika yang berakar pada spiritualitas dan moralitas dalam pengambilan keputusan.

Memimpin dengan Contoh: Menjadi model perilaku yang baik dan memimpin dengan contoh merupakan cara yang efektif untuk membangun kepercayaan dan rasa hormat.

Resiliensi: Kemampuan untuk tetap kuat dalam menghadapi tekanan, kritik, dan kegagalan, serta belajar dari pengalaman tersebut, adalah sangat penting.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Mengutamakan Hak Asasi Manusia: Menjamin perlindungan hak asasi manusia dalam semua kebijakan dan tindakan.

Mengedepankan Keadaban dan Etika: Memperlakukan semua orang dengan hormat dan adil, serta menghindari kekerasan dan diskriminasi.

Empati dan Sensitivitas Sosial: Memahami dan merespons dengan empati terhadap berbagai latar belakang dan kebutuhan masyarakat membantu dalam pembuatan kebijakan yang inklusif dan efektif

Persatuan Indonesia

Mempromosikan Persatuan: Memperkuat rasa nasionalisme dan persatuan di tengah keberagaman suku, ras, dan agama.

Desentralisasi dan Pemberdayaan Daerah: Mendukung otonomi daerah sambil menjaga persatuan nasional, serta memperkuat kepemimpinan lokal.

Kolaboratif dan Jaringan: Membangun jaringan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, LSM, dan komunitas internasional, adalah penting untuk mencapai tujuan bersama.

Kerakyatan dan dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Demokrasi Partisipatif: Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan politik dan sosial.

Musyawarah untuk Mufakat: Mengutamakan diskusi, dialog, dan konsensus dalam membuat keputusan, menekankan pentingnya mendengarkan berbagai pandangan.

Komunikatif dan Responsif: Kemampuan berkomunikasi dengan efektif dan responsivitas terhadap kebutuhan dan kekhawatiran masyarakat adalah kunci. Pemimpin harus dapat menggunakan berbagai platform untuk berinteraksi dengan publik

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 

Pemerataan Kesejahteraan: Memfokuskan pada kebijakan yang mendukung distribusi sumber daya dan kekayaan secara adil.

Pemberdayaan Masyarakat: Mengupayakan agar setiap kebijakan berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup seluruh lapisan masyarakat.

Berorientasi pada Solusi dan Inovatif: Menghadapi masalah kompleks memerlukan pendekatan yang berorientasi pada solusi dan kemampuan untuk berinovasi.

Visi Jangka Panjang: Memiliki visi jangka panjang yang jelas, sekaligus kemampuan untuk mengimplementasikan strategi dan kebijakan yang akan mengarah pada pencapaian visi tersebut.

Gaya kepemimpinan ini harus disesuaikan dengan konteks spesifik dari setiap masyarakat dan situasi. Kepemimpinan yang efektif dalam era demokrasi kontemporer memerlukan keseimbangan antara kekuatan kepemimpinan dan kepekaan terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat.

Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.