Peluang Cukai Gula, Garam, dan Lemak Menyokong JKN
Peluang Cukai Gula, Garam, dan Lemak Menyokong JKN
ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (www.alexainfoterkini.com)
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut penyakit tidak menular (Non-communicable Diseases/NCDs) menjadi biang keladi 73 persen kasus kematian di dunia. Penyakit yang meliputi obesitas, kanker, penyakit jantung, hipertensi, hingga diabetes, ini umumnya disebabkan pola makan dan obesitas di usia muda.
Biang keladinya adalah konsumsi makanan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL) secara berlebihan. Konsumsi gula misalnya, data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan, sebanyak 61,27 persen penduduk Indonesia di atas usia 3 tahun, aktif mengonsumsi lebih dari satu minuman berpemanis dalam sehari.
Sementara 30,22 persen hanya mengonsumsi satu sampai enam minuman berpemanis dan 8,51 persen mengonsumsi kurang dari tiga minuman berpemanis per bulan.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu mengatakan konsumsi gula berlebih, baik dari makanan atau minuman berisiko tinggi menyebabkan masalah kesehatan, seperti gula darah tinggi, obesitas, dan diabetes melitus.
“Tentunya ini akan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan di Indonesia. Terlebih lima penyebab kematian terbanyak di Indonesia didominasi oleh penyakit tidak menular,” jelas Maxi, dikutip dari laman Kementerian Kesehatan, Selasa (29/4/2025).
Pemerintah sebetulnya telah meregulasi kadar maksimum konsumsi GGL harian. Pengamat kebijakan kesehatan dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr. Arief Budiono, S.H., M.H., menyebut batas konsumsi GGL harian termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2015.
Kadar gula maksimum yang dapat dikonsumsi adalah 50 gram per hari atau setara empat sendok makan, garam sebanyak 2 gram atau satu sendok teh, dan lemak sebanyak 67 gram atau lima sendok makan.
Sayangnya, sebanyak 28,7 persen masyarakat Indonesia masih mengonsumsi GGL melebihi ambang batas yang ditetapkan pemerintah. Salah satu faktornya adalah kemudahan akses membeli makanan tinggi GGL.
“Banyak anak-anak yang mengonsumsi (GGL) dengan bebas. Padahal sudah banyak kasus anak-anak kena gagal ginjal, cuci darah, serangan jantung, dan sebagainya,” ujar Arief, Selasa.
Sepanjang 2007-2018, jumlah penderita obesitas di Indonesia terus meningkat. Pada 2007, penderita obesitas di Indonesia hanya 10,5 persen. Jumlah tersebut naik menjadi 14,8 persen pada 2013. Lima tahun kemudian, angka tersebut kembali melonjak hingga menyentuh angka 21,8 persen.
Tingginya penderita penyakit tidak menular berpotensi mengganggu anggaran BPJS Kesehatan. Pasalnya, proporsi anggaran BPJS untuk pembiayaan pasien penyakit tidak menular, mencapai 68 persen dari total anggaran BPJS Kesehatan.
“Lebih dari 60 persen habis karena penderita NCD yang disebabkan konsumsi gula, garam, dan lemak berlebihan,” beber dia.
Menurut Arief, proporsi anggaran yang timpang tersebut membuat BPJS Kesehatan tidak bisa memberikan layanan prima. Terbatasnya anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang dibarengi peningkatan jumlah penderita penyakit tidak menular, akan menurunkan kemampuan BPJS Kesehatan untuk membayarkan tanggungan penanganan penyakit lainnya.
Cukai Adalah Kunci
Arief Budiono dalam risetnya, yang bertajuk “Strengthening National Health Insurance with Ideal Regulations on the Distribution of Foods Containing Sugar, Salt, and Fat to Prevent Obesity and Non-communicable Diseases in Children”, mendorong pemerintah untuk mengesahkan aturan cukai untuk makanan olahan tinggi GGL.
Dosen Fakultas Hukum UMS itu memformulasikan kebijakan yang mempunyai dua manfaat, yakni mengurangi penderita penyakit tidak menular, sekaligus menambah dana untuk JKN.
Cukai tersebut dikenakan pada makanan olahan tinggi GGL. Semakin tinggi kadar GGL dalam makanan, semakin besar cukai yang dikenakan. Cukai kemudian akan dibebankan kepada produsen yang akhirnya mengerek harga jual produk olahan di pasaran.
“Ketika dikenakan cukai, otomatis harga (makanan dan minuman) akan naik. Harapannya yang mengonsumsi itu akan turun,” ujar dia.
Salah satu contoh kebijakan cukai GGL adalah cukai minuman berpemanis. Kebijakan itu telah digunakan di sejumlah negara, seperti Inggris, Filipina, Meksiko, Portugal, hingga Afrika Selatan. Arief memandang sudah saatnya Indonesia menerapkan kebijakan serupa.
Lantas mengapa cukai tidak dikenakan pada bahan pokok gula, garam, maupun lemak? Arief menilai penerapan cukai pada bahan pokok garam, gula, dan lemak tidak tepat sasaran.
“Karena GGL itu tidak semuanya digunakan untuk makanan. Kalau di bahan pokok, maka semuanya akan naik harganya. Sedangkan kalau cukai, maka akan spesifik makanan tertentu,” jelasnya.
Kebijakan yang ia usulkan juga mendorong pemerintah untuk mengalokasikan cukai makanan tinggi GGL kepada BPJS Kesehatan. Tujuannya agar cukai GGL dapat membiayai pengobatan orang-orang yang menderita penyakit tidak menular.
Selama ini, pendapatan cukai dimasukkan ke dalam penerimaan umum negara. Kategori tersebut membuat dana cukai dapat digunakan untuk keperluan lain, seperti belanja infrastruktur, belanja pegawai, maupun belanja lainnya di luar sektor kesehatan.
Alokasi tersebut juga membuat BPJS Kesehatan lebih leluasa dalam mengelola anggaran. Sebab, nilai cukai tersebut terbilang besar. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, nilai cukai makanan olahan tinggi GGL dapat menyentuh Rp3,2 triliun.
Cukai juga berpeluang mengurangi jumlah konsumsi makanan tinggi GGL. Semakin rendah konsumennya, maka semakin rendah jumlah penderita penyakit tidak menular.
“Harapannya alokasi 60 persen untuk NCDs bisa menurun. Alokasi anggaran ini sangat penting. Kalau hanya sekadar menarik cukai, pemerintah pasti senang,” tandas dia.