Kolom Herwindya : Beberapa Alasan Mengapa Kita Harus Membela Palestina !
Sri Herwindya Baskara Wijaya
Ketua Research Group (RG) Kajian dan Terapan Komunikasi UNS
Pemerhati masalah sosial, politik dan keagamaan
Beberapa Alasan Mengapa Kita Harus Membela Palestina !
ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (www.Alexainfoterkini.com)
Konflik Israel-Palestina seakan tiada pernah selesai berlangsung dan tiada pernah usai dibahas. Konflik horizontal yang telah berlangsung lebih dari 77 tahun ini menjadikan sebagai salah satu konflik terlama, paling panas dan paling brutal di dunia. Bahkan saat ini dunia menjadi saksi hidup, Jalur Gaza, salah satu wilayah utama di Palestina, begitu babak belur dihajar Zionis Israel sejak Oktober 2023. Invasi brutal terhadap Jalur Gaza ini dilakukan oleh Zionis Israel paska terjadinya serangan “Badai Al-Aqsa” oleh Hamas - salah satu faksi politik utama di Palestina selain Fatah - terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Pemerintah Israel dalam laporan rilisnya, 10 November 2023, mengklaim secara sepihak bahwa sebanyak 1.200 warga Israel tewas dalam operasi militer yang dilancarkan oleh kelompok Hamas ini.
Sementara itu, alasan di balik serangan Hamas terhadap Zionis Israel ini seperti yang tertuang dalam rilis laporan Hamas, 21 Januari 2024, berjudul Narasi Kami, Operasi Badai Al-Aqsa. Dalam laporan setebal 16 halaman tersebut, Hamas menyampaikan bahwa operasi “Badai Al-Aqsa” sebagai langkah yang perlu diambil dan reaksi alami terhadap rencana Israel untuk menghilangkan perjuangan Palestina, merampas tanah, melakukan Yahudisasi di tanah Palestina, dan membangun kendali penuh atas Masjid Al-Aqsa dan tempat-tempat suci. Hamas juga menyebut operasi terkait mewakili langkah strategis untuk meringankan blokade di Jalur Gaza, membebaskannya dari pendudukan Israel, memulihkan hak warga negara, meraih kemerdekaan, menentukan masa depan Palestina serta membangun negara Palestina dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya (republika.co.id, 22/1/24).
Merespons serangan Hamas ini, Zionis Israel yang pada saat ini di bawah kendali pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu - seorang politisi kawakan berdarah dingin dari partai politik sayap kanan, Likud - melakukan tindakan sangat keras berupa invasi brutal ke wilayah Jalur Gaza, yang bahkan mengarah pada praktik genosida (pemusnahan sistematis terhadap manusia). Akibat dari serangan biadab Israel ini, Jalur Gaza menjadi luluh lantah dengan ribuan korban tewas dan terluka dari warga Gaza. Kementerian Kesehatan Palestina per 30 Mei 2025, mencatat jumlah korban tewas dari warga Gaza telah mencapai 54.249 jiwa (sekitar 70% korban tewas adalah wanita dan anak-anak) dan korban terluka mencapai 123.492 jiwa (tempo.co, 30/5/25). Meski demikian, dunia seakan tidak berdaya untuk menghentikan aksi sadis Zionis Israel ini, tak terkecuali dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kondisi keamanan global.
Berbagai resolusi PBB selama ini terkait Zionis Israel terbukti tidak mempan menghentikan aksi brutal negara berlogo Bintang David ini terhadap bangsa Palestina. Pasalnya, sekutu paling utama Zionis Israel, yakni Amerika Serikat (AS) selalu memveto setiap resolusi PBB terkait dengan Zionis Israel. Akibatnya, berbagai resolusi PBB terkait seperti sekadar “macan ompong di atas kertas” mengingat AS memiliki power full intervention di PBB yakni sebagai salah satu negara yang punya hak veto di PBB (selain Tiongkok, Rusia, Inggris dan Perancis) dan selain AS sendiri juga sebagai negara super power di pentas global saat ini. Hingga November 2024, setidaknya AS telah memveto sebanyak 49 kali terhadap resolusi PBB terkait konflik Palestina-Israel. Di sisi lain, Pemerintah Israel sendiri selama ini terkesan masa bodoh atas berbagai resolusi PBB terkait serta beragam kebiadaban yang mereka (Zionis Israel) lakukan terhadap bangsa Palestina selama 77 tahun terakhir ini.
Bantuan AS
Indonesia adalah satu diantara 147 negara dari total 193 negara anggota PBB saat ini yang tercatat mengakui dan menerima Palestina sebagai negara merdeka. Indonesia pun tercatat dalam tinta sejarah dunia sebagai salah satu negara yang konsisten membela kepentingan bangsa Palestina. Tentunya sikap Indonesia ini patut diapresiasi, diacungi jempol serta didukung mengingat masih ada sebagian negara yang masih enggan mengakui Palestina sebagai negara merdeka seperti AS, Inggris, Jerman, Kanada, Italia, Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan lainnya. Bahkan, ada satu negara yang selalu konsisten membantu kepentingan Zionis Israel yakni AS.
Bantuan AS terhadap Zionis Israel bukan hanya gelontoran dana, senjata, pelatihan militer dan ekonomi, namun juga berupa bantuan hak veto setiap kali PBB mengeluarkan resolusi terkait konflik Israel-Palestina yang cenderung menyudutkan Negeri Yahudi itu. Menurut data riset dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada Maret 2025, Israel adalah importir senjata terbesar ke-15 di dunia. Laporan dari lembaga nonpartisan, Council on Foreign Relations (CFR), AS adalah pemasok terbesar bantuan militer ke Zionis Israel yakni sekitar $228 miliar (perkiraan setara Rp 3.762 triliun). Sedangkan laporan riset dari Watson Institute for International and Public Affairs di Universitas Brown, AS, menyebutkan bantuan AS ke Zionis Israel sejak konflik Israel-Hamas sejak 7 Oktober 2023-30 September 2024 mencapai $17,9 miliar (perkiraan setara Rp 280,8 triliun).
Secara mendasar, seperti yang disampaikan Kementerian Luar Negeri RI, posisi umum Indonesia terkait isu konflik Israel-Palestina adalah mendukung langkah-langkah Palestina dalam mewujudkan kemerdekaan, mengembalikan sentralitas isu Palestina di dunia internasional di tengah konflik yang terjadi di negara Timur Tengah saat ini, mendorong pengakuan kedaulatan Palestina oleh negara anggota PBB dan organisasi internasional, mendukung inisiatif negara-negara dan PBB guna menghidupkan kembali perundingan damai Palestina-Israel berdasarkan “solusi dua negara" (two state solutions), menggalang negara-negara OKI (Organisasi Kerjasama Islam) menemukan solusi damai penyelesaian masalah Palestina–Israel, terus mengupayakan agar Palestina terutama kompleks Al Aqsa, ditempatkan dalam Perlindungan Internasional (International Protection).
Beberapa Alasan
Terkait dengan uraian di atas, setidaknya ada sejumlah alasan yang perlu saya sampaikan mengapa kita, bangsa Indonesia, harus membela bangsa Palestina. Pertama, secara hakiki, penjajahan dalam bentuk apapun adalah bentuk penindasan manusia. Penjajahan berlawanan dengan hati nurani, akal sehat, kemanusiaan, ajaran moral keyakinan apapun. Pihak yang dijajah, meminjam istilah dari filsuf Antonio Gramsci (1891-1937), adalah kelompok yang tertindas dan terpinggirkan yang suaranya sering diabaikan dalam narasi sejarah. Faktanya hingga detik ini, Palestina adalah satu-satunya negara di dunia yang masih dijajah Israel. Ketika masih berstatus sebagai sebuah bangsa, Palestina telah diduduki Zionis Israel sejak tahun 1948. Ketika Palestina mendeklarasikan diri sebagai negara pada 15 November 1988 di Aljir, Aljazair oleh Dewan Nasional (PNC) Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Palestina juga masih dijajah oleh Zionis Israel hingga sekarang ini.
Kedua, apa yang dilakukan Israel di Palestina bertentangan dengan hukum internasional. Sebagai bukti, PBB sebagai organisasi resmi internasional wadah perkumpulan negara-negara di dunia seringkali mengecam aksi-aksi sepihak Israel. Seperti saya singgung sebelumnya, bahwa hingga November 2024, AS setidaknya telah memveto sebanyak 49 kali terhadap resolusi PBB terkait konflik Palestina-Israel. Catatan dari Paul Findley, seorang mantan anggota senat Amerika Serikat (AS), dalam Deliberate Deceptions : Facing the about the U.S. – Israel Relation (1993), menyebut catatan dan aksi-aksi Israel menunjukkan secara jelas bahwa Israel bukanlah anggota negara pecinta damai dan Israel tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana tertulis dalam Piagam PBB yaitu Resolusi ES-9/1 Dewan Keamanan (DK) PBB Tahun 1982.
Ketiga, konstitusi Republik Indonesia, yakni UUD 1945 secara eksplisit dan tegas menyebut, “...dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Artinya sampai batas tertentu, ada kewajiban konstitusional bagi bangsa Indonesia untuk berupaya menjalankan amanah Konstitusi tersebut mengingat masih ada sebuah negara dalam kondisi terjajah [Palestina]. Sebagaimana dikatakan mantan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudirini, Palestina adalah satu-satunya negara yang masih dijajah. Semua penderitaan Palestina disebabkan oleh Israel sebagai kekuatan yang menjajah (voaindonesia.com, 17/5/2021). Sebagai negara yang punya catatan sejarah panjang kolonialisme asing, tentunya bangsa Indonesia harus lebih mampu berempati terhadap bangsa lain yang sedang mengalami kondisi sejarah yang sama.
Politik Bebas Aktif
Keempat, politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif, yakni tidak memihak kepada kekuatan asing manapun di dunia serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam Konstitusi RI, UUD 1945, “...mewujudkan perdamaian dunia dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Atas dasar politik bebas aktif, Indonesia memposisikan dirinya sebagai subyek dalam pengambilan keputusan hubungan luar negeri dan tidak dapat dikendalikan oleh kepentingan politik negara lain. Hal ini berarti, berupaya ikut menyelesaikan konflik Israel-Palestina pada prinsipnya adalah wujud konkret dari pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
Dunia menjadi saksi bahwa Indonesia terlibat aktif dalam mengupayakan penyelesaian berbagai permasalahan dunia. Jejak politik luar negeri Indonesia terpotret dalam berbagai peran positif Indonesia di negara-negara berkonflik seperti Palestina, Lebanon, Myanmar, Irak, Afganistan, dan lain-lain. Indonesia juga aktif mengirimkan kontingen Pasukan Garuda sebagai pasukan perdamaian di bawah payung PBB di sejumlah negara yang berkonflik seperti Mesir, Lebanon, Kongo, Vietnam, Bosnia, Filipina, Sudan, Siera Leone, Nepal, Haiti. Sejak tahun 1957 hingga 2023, Indonesia telah mengirimkan sebanyak 30 misi Pasukan Garuda dengan sekitar 24.000 personelnya di berbagai negara dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Bahkan dalam menjalankan misi perdamaian tersebut, Pasukan Garuda menerima sejumlah penghargaan internasional, diantaranya United Nations Medal pada Mission des Nations Unies pour la Stabilisation en Haiti (Minustah) di Haiti, predikat Quickly and Excelent di Kongo, United Nations Medal dari United Nations Interim Forces in Lebanon (UNFIL) di Lebanon, predikat kontingen terbaik dari Special Representation Secretary General (SRSG) untuk Monusco di Republik Demokratik Kongo, sebagai korps dengan disipilin dan dedikasi tinggi dari Mission De L Organesation Des Nations Unies Pour La Stabilization en Republique Demokratique du Congo (Monusco) di Kongo, dan lainnya.
Kelima, kebijakan resmi antar periode pemerintahan di Indonesia yang konsisten berupaya ikut menyelesaikan konflik Israel-Palestina dan membela posisi Palestina sebagai bangsa terjajah. Sejak era Presiden Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo (Jokowi) hingga Presiden RI saat ini, Prabowo Subianto, semuanya konsisten menyuarakan pembelaan atas Palestina. Dengan gaya kepemimpinan masing-masing, setiap Presiden RI tidak berubah dalam kebijakannya atas perjuangan bangsa Palestina menjadi negara merdeka dan berdaulat yang sejajar dengan negara lain di dunia. Indonesia pun tercatat sebagai salah satu negara yang hingga detik ini tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Pemerintah Zionis Israel sebagai wujud konsistensi atas kebijakan pro-kemerdekaan Palestina itu.
Pada perhelatan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung, Indonesia dan Pakistan menolak keras diikutsertakannya Zionis Israel dalam konferensi internasional tersebut. Kala itu, Presiden Soekarno, mengundang Palestina untuk hadir pada konferensi terkait meskipun saat itu belum diakui sebagai negara merdeka. Presiden Soekarno pun pernah mengatakan, “Kita harus bangga, bahwa kita [Indonesia] adalah satu bangsa yang konsekuen terus. Bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel!”. Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”
Ikatan Batin
Keenam, Indonesia adalah negara anggota dan salah satu pendiri Gerakan Non Blok (GNB) atau Non-Aligned Movement (NAM). GNB adalah organisasi internasional yang saat ini beranggotakan 120 negara, dengan 17 observer. Jumlah tersebut menjadikan GNB sebagai salah satu kekuatan di Majelis Umum PBB karena GNB merepresentasikan lebih dari 55% penduduk dunia dan hampir 2/3 keanggotaan PBB. Tujuan dari organisasi ini, seperti yang tercantum dalam Deklarasi Havana tahun 1979, adalah untuk menjamin kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan dari negara-negara nonblok dalam perjuangan mereka menentang imperialisme, kolonialisme, neo kolonialisme, apartheid, rasisme dan segala bentuk agresi militer, pendudukan, dominasi, intervensi atau hegemoni dan menentang segala bentuk blok politik.
Jadi jelas, sebagai anggota dan salah satu pendiri GNB, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk mewujudkan tujuan GNB yakni menentang imperialisme, kolonialisme, neo kolonialisme, apartheid, rasisme dan segala bentuk agresi militer, pendudukan, dominasi, intervensi atau hegemoni dan menentang segala bentuk blok politik. Sementara yang terjadi di Palestina adalah pendudukan ilegal struktural dan sistematis oleh Zionis Israel sejak 1948 hingga sekarang. Dengan dalih sepihak memiliki jejak ikatan historis, Zionis Israel mencaplok sebagian besar tanah Palestina dan menjadikannya sebagai tanah pribadi. Akibatnya, ribuan warga Palestina meregang nyawa dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi akibat pendudukan kejam Zionis Israel tersebut.
Ketujuh, meski saat ini Indonesia sedang tidak menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, namun Indonesia pernah menjadi anggota tidak tetap DK PBB periode tahun 1973-1974, 1995-1996, 2007-2008 dan 2019-2020. Prinsip dasar pelaksanaan keanggotaan tidak tetap Indonesia di DK PBB adalah Pancasila, UUD 1945, dan Dasasila Bandung. Apa artinya ? Sebagai mantan anggota DK PBB selama empat periode, Indonesia memiliki ikatan batin dan tanggung jawab moral untuk mewujudkan tujuan DK PBB. Sesuai Pasal 24 Piagam PBB, DK PBB mempunyai tugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini sesuai dengan salah satu cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945, yakni ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Selama menjadi anggota tidak tetap DK PBB, sebagaimana yang dicatat oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (kemlu.go.id, 2019), Indonesia konsisten menyuarakan hak-hak rakyat Palestina, termasuk mendorong berdirinya negara Palestina yang merdeka, demokratis, sejahtera, dan hidup berdampingan secara damai dengan Israel dibawah prinsip “two-state solution". Indonesia juga selalu mendorong agar DK PBB mengeluarkan keputusan yang produktif bagi penyelesaian masalah Palestina sebagai cerminan tanggung jawab DK PBB sebagai organ utama PBB yang mengurusi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Kedelapan, Indonesia memiliki “hutang sejarah” soal dukungan rakyat Palestina atas kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat, mufti besar Palestina saat itu, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dan seorang pengusaha media massa di Palestina (Ashoura, Al-Shabab, Al Minhaj dan Al Alam Al-Masri), yakni Muhammad Ali Taher atau Aboul Hassan menyiarkan dukungan rakyat Palestina untuk kemerdekaan Indonesia melalui siaran radio dan media berbahasa Arab pada 6 September 1944. Mereka juga aktif melobi negara-negara Timur Tengah yang berdaulat di Liga Arab untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Bahkan, Muhammad Ali Taher pernah mengeluarkan kekayaannya yang tersimpan di Bank Arabia untuk membantu perjuangan Indonesia saat awal Agresi Militer II Belanda di Indonesia, sekitar Desember 1948.
Dalam catatan sejarah disebutkan, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada 22 Maret 1946. Namun pengakuan ini tak lepas dari peran para tokoh Palestina dan Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, yang diketuai oleh Mohamed Zein Hassan. Pada 9 Juni 1947, Mesir mengadakan pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia yang dihadiri Ketua Delegasi Republik Indonesia, H. Agus Salim, Mufti Palestina, Syaikh Muhammad Amin Al Husaini, serta Menteri Luar Negeri Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Faisal (detik.com, 31/5/2021). Semoga kita, bangsa Indonesia, tidak pernah melupakan kebaikan bangsa Palestina yang pernah ikut membantu perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, sebagaimana pesan Presiden Soekarno, “jangan sekali-sekali melupakan sejarah” (Jas Merah).