News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Risalah Amman, Politik Sektarian & Persaudaraan Muslim Global

Risalah Amman, Politik Sektarian & Persaudaraan Muslim Global

 Risalah Amman, Politik Sektarian & Persaudaraan Muslim Global


ditulis oleh : Sri Herwindya Baskara Wijaya

Ketua Research Group Kajian dan Terapan Komunikasi UNS

Pemerhati masalah sosial, politik dan keagamaan

Sekitar 20 tahun lalu, tepatnya Selasa, 9 November 2004 (27 Ramadan 1425 H) di Amman, Yordania berlangsung sebuah momen penting bagi dunia, khususnya bagi Dunia Islam, yakni penyampaian Deklarasi Amman atau Risalah Amman. Deklarasi ini menyerukan toleransi, persaudaraan dan persatuan umat Islam dan dipimpin oleh Raja Abdullah II bin Al-Hussein dari Yordania, serta dihadiri oleh 200-an ulama dan cendekiawan muslim berbagai mazhab dalam Islam lebih dari 50 negara. Risalah Amman juga sengaja hadir dan digaungkan sebagai upaya mereduksi friksi, perseteruan dan konflik yang terjadi pada sebagian sesama kaum muslimin di dunia.

Risalah Amman mendeklarasikan beberapa keputusan penting: (1) Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaidi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim; (2) Ada jauh lebih banyak kesamaan dalam mazhab-mazhab Islam dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan di antara mereka; (3) Mengakui kedelapan mazhab dalam Islam tersebut (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Ja’fari, Zaidi, Ibadi, Zhahiri) berarti bahwa mengikuti suatu metodologi dasar dalam mengeluarkan fatwa: tidak ada orang yang berhak mengeluarkan fatwa tanpa keahlihan pribadi khusus yang telah ditentukan oleh masing-masing mazhab bagi para pengikutnya. 

(4) Esensi Risalah Amman - yang ditetapkan pada malam Lailatul Qadar tahun 1425 H dan dideklarasikan dengan suara lantang di Masjid Al-Hasyimiyyin di Amman, Yordania - adalah kepatuhan dan ketaatan pada mazhab-mazhab Islam dan metodologi utama yang telah ditetapkan oleh masing-masing mazhab tersebut; (5) Kami semua mengajak seluruh umat untuk membuang segenap perbedaan di antara sesama muslim dan menyatukan kata dan sikap mereka; menegaskan kembali sikap saling menghargai; memperkuat sikap saling mendukung di antara bangsa-bangsa dan negara-negara umat Islam; memperkukuh tali persaudaraan yang menyatukan mereka dalam saling cinta di jalan Allah (The Amman Message, 2021).

Hadirnya Risalah Amman tersebut serasa menjadi oase penyejuk bagi Dunia Islam yang sejak lama berkalung carut marut friksi, intrik dan konflik. Bukan sekadar perang urat syaraf, namun sebagian sesama kalangan umat Islam saling berkonflik berdarah secara fisik tanpa memandang lagi mereka adalah saudara satu iman. Bukan hanya menuduh sebagai pelaku bi’dah (sesuatu yang baru atau inovasi dalam agama) dan sesat, namun sebagian sesama kaum muslimin telah sampai pada taraf vonis mengkafirkan (takfir) meski jelas-jelas yang divonis adalah saudaranya satu agama. Paham takfir ini tidak sekadar berwujud sumpah serapah dalam ceramah, khotbah, seruan atau bahkan intervensi doa, namun telah menyasar pada penghalalan darah, jiwa dan harta para tertuduhnya. 

Padahal, memvonis sesama muslim sebagai kafir (secara serampangan), berarti sama saja menganggap muslim bersangkutan telah keluar dari Islam, padahal tuduhan kekafiran rentan bisa kembali kepada dirinya. Dari Abu Dzarr r.a., Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa memanggil seseorang dengan kafir atau mengatakan kepadanya “hai musuh Allah”, padahal tidak demikian halnya, melainkan panggilan atau perkataannya itu akan kembali kepada dirinya.” [HR. Imam Al-Bukhari No. 3508 & Imam Muslim No. 61 (112)]. Lantaran melibatkan ideologi agama di dalamnya, daya ledak konflik ini sungguh bisa sangat mengerikan baik melalui cacian, tuduhan sesat menyesatkan atau vonis kafir, bahkan melalui terjangan peluru hingga bom bunuh diri. Ketika agama dan politik saling berkelindan dengan praksis ideologi yang ekstrem, maka yang terjadi adalah penghancuran dan kehancuran.


Konflik

Potret sejarah dunia memang seakan tidak pernah lepas dari berbagai friksi, konflik dan benturan antarkepentingan. Tak terkecuali dengan potret Dunia Islam yang juga tidak luput dari friksi, intrik dan konflik diantara sesamanya sendiri. Catatan sejarah mengkonfirmasi bahwa sejak era sahabat Nabi Muhammad SAW (Khulafaur Rasyidin) yakni saat pemerintahan Sayyidina Ustman bin Affan r.a. (644-656 M) dan Sayyidina Ali bin Abi Talib r.a. (656-661 M), era Kekhalifahan Ummayah (661-750 M), Kekhalifahan Abbasiyah (750-1517 M), Kekhalifahan Fatimiyah (909-1171 M), Kekhalifahan Cordoba (929-1031 M), Kekhalifahan Mughal (1526-1857 M) dan Kekhafilahan Ustmaniyah (1299-1923 M) sampai detik ini, umat Islam tidak pernah sepi didera friksi, intrik, dan konflik internal dengan berbagai skala dan tingkatan. 

Bahkan dalam rentang sejarahnya, friksi, intrik, dan konflik sesama muslim ini telah membelah umat Islam dalam dua madzab utama dalam keagamaan yakni Sunni dan Syiah. friksi, intrik, dan konflik yang terjadi ini sesungguhnya awalnya adalah murni persoalan politik kekuasaan. Namun seiring waktu kemudian, beragam kredo dan idiom agama ikut masuk bergumul berkelindan sehingga menjadikan entitas politik dan agama menjadi campur aduk, tumpah tindih, sulit diidentifikasi dan sulit dipisahkan.

Untuk era kontemporer saat ini, kita pun telah menyaksikan serangkaian pergolakan friksi, intrik, dan konflik di sejumlah kawasan muslim, sebut saja di Suriah, Irak, Palestina, Yaman, Afganistan, serta sejumlah negara berbasis muslim di Afrika seperti Libya, Tunisia, Sudan, Somalia, Mali, Gambia, Burkina Faso dan lainnya. Lantaran dilatari perbedaan orientasi dan afiliasi politik, sebagian dari pihak yang berkonflik ini tidak segan ikut menyeret entitas perbedaan paham/aliran/sekter/madzab dalam agama yang dianut ke dalam pusaran friksi, intrik, dan konflik terkait. Pihak seteru dalam friksi, intrik, dan konflik ini tidak hanya divonis sesat atau kafir, bahkan perlu untuk dibumihanguskan, seperti yang diimani secara ideologis oleh kelompok teroris semacam ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) atau Al Qaeda. Isu sektarian agama ikut dimainkan dalam pusaran friksi, intrik, dan konflik politik ini sebagai palu godam yang efektif untuk memantik emosi sosial dan mobilisasi massa. Akibatnya bisa sangat mengerikan dimana mereka yang berseteru turut melibatkan dan mengatasnamakan nama Tuhan untuk meluluhlantahkan siapa saja yang dianggap “musuh” dan guna memenangkan pertarungan.

Sebagai misal, pada konflik di Suriah, Irak dan Yaman, aroma perseteruan antarpendukung dari golongan pengikut Syiah dan Sunni terlihat sangat kentara. Dalam konflik di Suriah tahun 2011-2024, rezim Bashar Al Asa’ad yang didukung banyak kalangan Syiah berkonflik dengan kalangan oposisi yang banyak berlatar Sunni. Konflik yang awalnya soal perebutan kekuasaan politik belaka, namun kemudian sampai batas tertentu ikut menyeret konflik yang beraroma aliran atau madzab agama dimana pihak berseteru saling mereduksi satu sama lainnya. Konflik ini makin rumit tatkala pihak asing masuk sehingga menjadikan Suriah porak-poranda. Amerika Serikat (AS) beserta sekutunya dan Rusia juga beserta sekutunya menjadikan Suriah menjadi ladang perang proksi (proxy war) yang sangat mengenaskan. Petaka konflik makin menguat tatkala kelompok terorisme bernama ISIS ikut meramaikan pusaran konflik dengan ragam kekejaman lahir batin yang memilukan.

Pun dengan konflik di Irak. Meskipun kondisi saat ini Irak sudah lebih kondusif, namun sebelumnya yakni paska tumbangnya rezim Saddam Hussein akibat invasi AS tahun 2003, Irak, sebuah negara cantik yang berjuluk “Negeri 1001 Malam” ini tidak pernah luput dari teror bom dan rentetan tembakan mematikan nyaris setiap hari atau minggunya. Rezim pemerintahan Irak saat ini yang banyak didominasi kalangan Syiah seakan tidak pernah tenang lantaran menghadapi berbagai serangan dari seterunya dari berbagai kelompok Sunni, baik itu milisi lokal para pendukung bekas Presiden Saddam Hussein maupun milisi-milisi lain yang kontra pemerintahan Irak sekarang ini seperti ISIS. Kondisi ini belum termasuk gangguan dari sesama kalangan Syiah sendiri yang berfriksi. berintrik atau berkonflik dengan rezim pemerintahan Irak saat ini. 

Kepentingan Politik

Misalnya juga pada konflik di Yaman yang berlangsung sejak tahun 2004 hingga saat ini juga tidak luput dari aroma isu sektarian madzab agama, Sunni versus Syiah. Padahal sekali lagi yang terjadi adalah murni konflik politik perebutan kekuasaan. Namun isu sektarian madzab agama dalam konflik ini sepertinya terlalu sayang dilewatkan oleh pihak-pihak yang berkonflik sehingga sengaja ikut pula dijadikan kuda tunggangan konstelasi konflik terkait. Militan Houthi yang Syiah Zaidiyah bertempur melawan rezim berkuasa di Yaman, Ali Abudullah Saleh yang Sunni Syafi’i. Konflik jadi kian tak terkenali ketika pihak-pihak asing ikut terlibat di dalamnya. Houthi, meski madzabnya Syiah Zaidiyah namun didukung rezim Iran yang berbasis madzab Syiah Itsna ‘Ashariyah (Syiah 12 Imam atau Syiah Ja’fari), sementara rezim Yaman yang Sunni disokong oleh kekuatan gabungan negara-negara berbasis Sunni seperti Arab Saudi, Mesir, Maroko, Yordania, Sudan, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain. Konflik semakin pelik tatkala kelompok teroris Al Qaeda di Semenanjung Arab atau Al Qaeda in Arabian Peninsulla (AQAP) dan ISIS ikut memperkeruh konstelasi konflik tersebut.

Jika di Suriah, Irak dan Yaman aroma konfliknya sampai batas tertentu memunculkan bau friksi antar madzab Islam yakni Sunni versus Syiah - meskipun sekali lagi ditegaskan bahwa fakta aslinya adalah sekadar konflik politik perebutan kekuasaan - namun justru di Afganistan, kalangan yang berkonflik adalah sama-sama masih dalam satu lingkaran madzab agama. Pihak-pihak yang saling berseteru baik rezim Pemerintah Afganistan maupun Taliban secara paham keagamaan secara umum adalah sama-sama berbasis Sunni Hanafi, madzab Islam mayoritas di Afganistan. Isu politik kekuasaan, fanatisme paham agama serta semangat kesukuan, tumpang tinding menjadi satu di negeri yang pernah diinvasi Uni Soviet tahun 1979 ini. Sejak Taliban digulingkan AS dan sekutunya tahun 2001 [karena dianggap menyembunyikan gembong teroris buruan AS, Osama bin Laden], Afganistan, negara yang berjuluk “Negeri Kuburan Para Raja” ini tidak pernah lepas dari konflik. Kini, per Juli 2021 setelah rentetan perang maraton yang mengharu biru melawan pendudukan AS sejak tahun 2001, Taliban berhasil kembali berkuasa di Afganistan.

Pada konflik di Palestina, wilayah yang paling bergejolak di dunia saat ini, secara spesifik pihak yang berkonflik sebenarnya adalah bangsa Palestina versus Zionis Israel. Namun, dua faksi politik yang dominan di Palestina yakni Fatah (Harakat at-Tahrir al-Wathani al-Filasthini atau Gerakan Nasional Pembebasan Palestina) dan Hamas (Ḥarakat al-Muqāwamah al-ʾIslāmiyyah atau Gerakan Perlawanan Islam) terkesan sulit akur. Bahkan, kedua faksi politik ini pernah terlibat konflik bersenjata yang memakan korban jiwa dalam Perang Saudara Palestina (Ahliyyah al-Filisṭīnīyah) atau Konflik Fattah-Hamas (Al-Fatah Nizā Bain wa Hamas) pada tahun 2006. Hingga saat ini, keduanya sulit rukun dengan penguasaan wilayah pemerintahannya masing-masing dimana Hamas menguasai Jalur Gaza, sementara Fatah menguasai Tepi Barat. Perbedaan ideologi politik dan strategi menghadapi penjajahan Zionis Israel menjadi sebab utama keduanya sulit bersatu. Kondisi ini di satu sisi tentunya sangat menguntungkan pihak Zionis Israel yang telah mencengkeram kuat tanah Palestina sejak tahun 1948, namun di sisi lain sangat merugikan bangsa Palestina sendiri.

  Akibat pergolakan politik di berbagai wilayah muslim ini - yang dimana di sebagiannya sampai batas tertentu ikut menyeret isu sektarian aliran/paham agama ini - ribuan korban tewas berjatuhan, tak terkecuali dari kalangan perempuan, anak-anak dan lanjut usia. Kondisi ini belum termasuk jutaan pengungsi yang mencoba menyelamatkan diri dari neraka konflik baik yang masih hidup atau sekarat ke berbagai negara di dunia. Kepentingan diri atas kekuasaan politik, yang sampai batas tertentu juga bersenyawa dengan semangat fanatisme kelompok dan paham keagamaan, telah menjadikan sebagian muslim menjadi musuh bagi sebagian muslim yang lain. Syahwat atas kekuasaan politik memang kadang membutakan diri sehingga kadang pula menggelincirkan para pelakunya dalam aktivisme yang bisa merugikan pihak lain.

Padahal Islam mengajarkan, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Oleh sebab itu, jangan menzalimi dan meremehkannya dan jangan pula menyakitinya” (HR. Ahmad, Bukhari & Muslim). “Seseorang sudah cukup jahat ketika ia sudah menghina sesama saudara Muslim. Setiap muslim adalah haram dinodai jiwanya, hartanya, dan kehormatannya” (HR. Muslim). “Dosa membunuh seorang mukmin lebih besar daripada hancurnya dunia.” (HR. An-Nasa’i). “Perkara pertama yang akan dihisab antara sesama manusia di Hari Kiamat adalah urusan darah” (HR. Muslim). “Sesungguhnya darah dan harta kalian, haram bagi sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini di negeri kalian ini” (HR. Muslim).


Peran Indonesia

Kita patut bersyukur Indonesia melalui para tokohnya turut berperan aktif dalam ikhtiar penguatan persaudaraan dan persatuan umat Islam di dunia, seperti pada Risalah Amman tahun 2004 di Yordania. Dengan karakternya yang cenderung moderat, toleran dan inklusif menjadikan Islam ala Indonesia relatif bisa berelasi dan diterima oleh berbagai kelompok atau madzab/aliran/sekte dalam umat Islam global, bahkan dapat diterima oleh kalangan nonmuslim. Dalam konteks ini, adalah dua Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang menjadi garda terdepan dalam upaya pengokohan persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), bahkan juga persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah). Peran kedua organisasi ini baik secara nasional maupun internasional merupakan bagian dari manifestasi dan aktualisasi jati diri organisasi sekaligus pemenuhan perintah agama. 

Pasalnya, meskipun Deklarasi Amman telah dimanifestokan sejak tahun 2004, namun faktanya hingga saat ini friksi atau konflik sesama umat Islam di sejumlah negara muslim masih sengit berlangsung. Pun, bukan hanya di dunia nyata, di ruang maya pun dengan mudah kita temui pentas disharmoni ukhuwah Islamiyah dalam wujud hoaks [informasi dusta], ujaran kebencian dan perisakan lantaran hanya karena persoalan khilafiyah (perbedaan) aliran/sekte/madzab keagamaan, kelompok, organisasi atau interprestasi atas teks-teks keagamaan. Karena faktor kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan dan terutama fanatisme buta, sebagian umat Islam baik akar rumput maupun oknum elit muslim tertentu ikut membisingkan ruang virtual (internet, media sosial, media bincang) dengan cacian ke pihak muslim lain. Belum lagi saat kepentingan syahwat politik merasuk berkelindan di dalamnya, sehingga menambah gaduh dan semrawut belantara ukhuwah sesama muslim.

Kita sangat berharap Indonesia yang saat ini tercatat sebagai negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia (244,7 juta jiwa atau 11,96% dari total 2,04 miliar populasi muslim dunia, per 3 Maret 2025 versi Timesprayer) kian menegaskan diri sebagai teladan perekat dan pengokoh bagi persaudaraan kaum muslimin (ukhuwah Islamiyah) sekaligus bagi persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah) di seluruh dunia. Hal ini begitu sangat penting mengingat permasalahan yang dihadapi umat Islam dan dunia dewasa ini semakin sulit, rumit dan kompleks, terutama sekali terkait persoalan konflik/perang, kelaparan, kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Semoga umat Islam Indonesia tidak pernah lelah merajut temali ukhuwah Islamiyah diantara sesamanya. Semoga juga umat Islam Indonesia tidak pernah letih menenun anyaman ukhuwah basyariyah diantara sesama manusia guna menggapai pendar cahaya dunia yang lebih baik. Semoga.



Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.