News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Kolom Herwindya : Membumikan Pancasila melalui Fatwa Keagamaan NU, Muhammadiyah & MUI

Kolom Herwindya : Membumikan Pancasila melalui Fatwa Keagamaan NU, Muhammadiyah & MUI

 Membumikan Pancasila melalui Fatwa Keagamaan NU, Muhammadiyah & MUI

Sri Herwindya Baskara Wijaya

Peneliti dan Ketua Research Group Kajian dan Terapan Komunikasi

Universitas Sebelas Maret (UNS)

Pemerhati masalah sosial, politik dan keagamaan

ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (www.Alexainfoterkini.com

Pancasila merupakan dasar negara, ideologi negara, falsafah hidup bangsa, jiwa dan kepribadian bangsa, pandangan hidup bangsa, serta sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Pancasila bersumber dan digali secara mendalam dari akar sistem sosial budaya masyarakat Indonesia yang majemuk baik suku, agama, ras dan antargolongan. Setiap tanggal 1 Juni, Pancasila diperingati secara nasional sebagai Hari Lahir Pancasila sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Pancasila kali pertama dicetuskan oleh Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam pidatonya berjudul “Lahirnya Pancasila” pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Gagasan Soekarno ini meliputi kebangsaan Indonesia atau nasionalisme, kemanusiaan atau internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, serta ketuhanan yang berkebudayaan. 

Setelah mengalami proses penyempurnaan redaksi, bunyi Pancasila kemudian menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama proses perumusan Pancasila, terjadi dinamika dialektika ide, diskursus dan gagasan diantara para pendiri bangsa (founding fathers). Akan tetapi, karena didasari atas kebesaran hati demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang majemuk ini, maka pada akhirnya pada 18 Agustus 1945, Pancasila disepakati dan ditetapkan secara konstitusional sebagai dasar negara Republik Indonesia. Selama proses perumusan dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia tahun 1945, umat Islam memiliki posisi, peran dan jasa yang luar biasa besar. 

Kala itu, umat Islam diwakili sejumlah ulama dan cendekiawan muslim otoritatif, seperti KH. Wahid Hasyim, KH. Kahar Muzakir, Mr. Kasman Singodimedjo, H. Agus Salim, H. Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki Bagoes Hadikusumo, Mr. Teuku Mohammad Hassan serta dr. Sukiman Wirjosanjoyo. Demi keutuhan bangsa Indonesia, golongan nasionalis muslim saat itu rela menghapus 7 kata dalam redaksi Sila 1 Pancasila versi Piagam Jakarta (22 Juni 1945), yakni “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, tidak heran jika Menteri Agama Republik Indonesia (1978-1983), Letjen TNI (Purn.) H. Alamsjah Ratoe Perwiranegara, menyebut Pancasila sebagai hadiah terbesar umat Islam bagi kemerdekaan dan persatuan Indonesia (Tajdid.id, 2019; Wijaya, 2025). Tiga organisasi Islam paling berpengaruh di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memainkan peran sangat besar bagi upaya pembelaan, penjagaan dan pengamalan Pancasila. Sri Herwindya Baskara Wijaya dalam “Pijar Islam dan Ragam Narasi” (2022) menjabarkan panjang lebar terkait fatwa keagamaan NU, Muhammadiyah dan MUI tentang Pancasila.


Nahdlatul Ulama

Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Ormas Islam yang didirikan Hadratussyaikh KHM. Hasyim Asyari tahun 1926 ini, Pancasila sudah final sebagaimana tercermin dari hasil keputusan Munas Alim Ulama NU pada 16 Rabi’ul Awwal 1404 H/21 Desember 1983 di Situbondo, Jawa Timur, tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Keputusan ini kemudian dimantapkan kembali pada Muktamar Ke-27 NU tahun 1984 di Ponpes Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo. Pihak yang dipandang paling berperan dalam penyusunan piagam deklarasi ini adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (Ketua Sidang tentang pembahasan hubungan Islam dengan Pancasila), KH. Ahmad Siddiq (Rais Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan KHR. As’ad Syamsul Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur – tuan rumah lokasi Muktamar Ke-27 NU).

Adapun bunyi deklarasi piagam tersebut adalah: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama; (2) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam; (3) Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia; (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya; (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak (NU Online, 2020). 

Muktamar Ke-29 NU pada 1 Rajab 1415 Hijriyah/ 4 Desember 1994 Masehi di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat juga menelurkan keputusan mengenai pandangan NU tentang dasar negara Pancasila. Keputusan Muktamar NU Nomor 02/MNU-29/1994 tentang Pengesahan Hasil Sidang Komisi Ahkam/Masail Diniyah memutuskan beberapa hal: (1) Dalam kaitannya dengan perumusan Pancasila sebagai dasar negara, NU memandang bahwa Pancasila adalah konsep bersama yang disepakati oleh seluruh lapisan bangsa sebagai pedoman dalam hidup bernegara; (2) Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Pancasila, NU telah menegaskan pandangannya yang jelas dan jernih, tercantum dalam “Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam”, hasil keputusan Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur (PBNU, 2011). 

Sebagai catatan tambahan, hasil keputusan Munas Alim Ulama NU pada 21 Desember 1983 di Situbondo, Jawa Timur dan pada Muktamar Ke-27 NU tahun 1984 di Ponpes Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo di atas dikuatkan dengan Maklumat NU untuk Mendukung Pancasila, UUD 1945 dan NKRI dalam Munas dan Konferensi Besar NU di Surabaya, 30 Juli 2006. Maklumat yang ditandatangani Rais Aam’ PBNU, Dr. (HC). KH. AM. Sahal Mahfudh dan Ketua Umum PBNU, Dr. (HC). KHA. Hasyim Muzadi tersebut sebagai upaya final umat Islam dan seluruh bangsa Indonesia. Dalam pandangan NU, bahwa sepanjang sejarah Republik Indonesia, setiap upaya mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi negara apalagi upaya untuk menggantikannya, terbukti senantiasa menimbulkan perpecahan di kalangan bangsa dan secara realistis tidak menguntungkan umat Islam sebagai mayoritas bangsa. 

Hingga kini, Pancasila sebagai ideologi negara masih tetap merupakan satu-satunya ideologi yang secara dinamis dan harmonis dapat menampung nilai-nilai keanekaragaman agama maupun budaya, sehingga Indonesia kokoh dan utuh tidak terjebak menjadi negara agama (teokrasi) maupun menjadi negara sekuler yang mengabaikan nilai-nilai agama. Dewasa ini, NU memandang, mulai terasa upaya menarik Pancasila ke kiri dan ke kanan, yang apabila tidak diwaspadai oleh seluruh komponen bangsa dan membahayakan dan menggoyahkan eksistensi dan posisi Pancasila itu sendiri. Gerakan reformasi yang melahirkan amandemen terhadap UUD 1945, diakui telah banyak menyumbangkan demokrasi dan kebebasan hak asasi, namun dirasakan pula bahwa reformasi juga melahirkan problem-problem tertentu, maka wajar kalau reformasi direnungkan kembali. 

Pancasila sebagai landasan yang berkerangka UUD 1945 melahirkan ketatanegaraan yang diwadahi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), oleh karenanya maka sistem otonomi daerah dan otonomi khusus sama sekali tidak boleh menjurus kepada disintegrasi bangsa, apalagi pemisahan kewilayahan. Perjuangan menegakkan agama dalam Negara Pancasila haruslah ditata dengan prinsip kearifan, tidak boleh menghadapkan agama terhadap negara atau sebaliknya, tetapi dengan meletakkan agama sebagai sumber aspirasi serta menyumbangkan tata nilai agama yang kemudian diproses melalui prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap seluruh kepentingan bangsa. Sedangkan masing-masing agama di Indonesia dapat melakukan kegiatannya dengan leluasa dalam dimensi kemasyarakatan (civil society). Maka berlatar pandangan itu, NU meneguhkan kembali komitmen kebangsaannya untuk mempertahankan dan mengembangkan pancasila dan UUD 1945 dalam wadah NKRI (NU Online, 2006).

 

Muhammadiyah

Muhammadiyah, Ormas Islam yang didirikan KH. Ahmad Dahlan (Syeikh Muhammad Darwis) tahun 1912 ini menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Pancasila dan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah (Negara Kesepakatan dan Persaksian). Fatwa keagamaan ini diputuskan dan dimaklumatkan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47, 16-22 Syawal 1436 H / 3-7 Agustus 2015 M di Makassar, Sulawesi Selatan sebagai bentuk penegasan kembali Muhammadiyah atas komitmennya terhadap Pancasila. Penerimaan Pancasila oleh Muhammadiyah sebenarnya telah dimaklumatkan pada Muktamar Ke-41, 7 Desember 1985 di Kota Solo, Jawa Tengah. Dokumen resmi “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah” ini ditandatangani Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Dr. HM. Dien Syamsuddin dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dr. H. Agung Danarto, M.Ag.

Muhammadiyah menyatakan beberapa poin penting mengenai Negara Pancasila (2015: 12-16): (1) Muhammadiyah memandang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah Negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; secara esensi selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam dan dapat diisi serta diaktualisasikan menuju kehidupan yang dicita-citakan umat Islam yaitu Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Negara Pancasila yang mengandung jiwa, pikiran, dan citacita luhur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu dapat diaktualisasikan sebagai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur yang berperikehidupan maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah SWT. 

(2) Bahwa Negara Pancasila merupakan hasil  konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah SWT. Pandangan kebangsaan tersebut sejalan dengan cita-cita Islam tentang negara idaman “Baldatun Thayyiabtun Wa Rabbun Ghafur”, yaitu suatu negeri yang baik dan berada dalam ampunan Allah. Negara ideal itu diberkahi Allah karena penduduknya beriman dan bertaqwa (QS Al-A’raf: 96), beribadah dan memakmurkannya (QS Adz-Dzariyat: 56; Hud: 61), menjalankan fungsi kekhalifahan dan tidak membuat kerusakan di dalamnya (QS Al-Baqarah: 11, 30).

Selain itu, memiliki relasi hubungan dengan Allah (habluminallah) dan dengan sesama (habluminannas) yang harmonis (QS Ali Imran: 112), mengembangkan pergaulan antarkomponen bangsa dan kemanusiaan yang setara dan berkualitas taqwa (QS Al-Hujarat: 13), serta menjadi bangsa unggulan bermartabat khyaira ummah (QS Ali Imran: 110). Negara Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim tersebut dalam konteks keislaman dan keindonesiaan harus terus dibangun menjadi Negara Pancasila yang Islami dan berkemajuan menuju peradaban utama bagi seluruh rakyat. 

(3) Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia adalah ideologi negara yang mengikat seluruh rakyat dan komponen bangsa. Pancasila bukan agama, tetapi substansinya mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang menjadi rujukan ideologis dalam kehidupan kebangsaan yang majemuk. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Pancasila itu Islami karena substansi pada setiap silanya selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam Pancasila terkandung ciri keislaman dan keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan (humanisme religius), hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan kemakmuran. Melalui proses integrasi keislaman dan keindonesiaan yang positif itu maka umat Islam Indonesia sebagai kekuatan mayoritas dapat menjadi uswah hasanah dalam membangun Negara Pancasila menuju cita-cita nasional yang sejalan dengan idealisasi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. 

(4) Segenap umat Islam termasuk di dalamnya Muhammadiyah harus berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai Dar al-Syahadah atau negara tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangsaan yang bermakna menuju kemajuan di segala bidang kehidupan. Dalam Negara Pancasila sebagai Darus Syahadah, umat Islam harus siap bersaing (fastabiqul khairat) untuk mengisi dan memajukan kehidupan bangsa dengan segenap kreasi dan inovasi yang terbaik. Dalam hal ini Muhammadiyah sebagai komponen strategis umat dan bangsa mempunyai peluang besar untuk mengamalkan etos fastabiqul khairat itu dan tampil menjadi a leading force atau kekuatan yang berada di garis depan untuk mengisi dan memimpin Negara Pancasila menuju kehidupan kebangsaan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat sejajar dengan negara-negara lain yang telah maju dan berperadaban tinggi. 

(5) Dalam kenyataan hidup berbangsa dan bernegara nilai-nilai Pancasila belum banyak diimplementasikan sehingga penyelenggaraan pemerintahan masih diwarnai penyimpangan antara lain terlihat dari maraknya praktek-praktek korupsi, kekerasan, skandal moral, friksi-friksi dalam masyarakat, eksploitasi sumber daya alam secara tak bertanggungjawab, kemiskinan, dan belum terwujudnya pemerataan atas hasil pembangunan nasional. Sebagian elite dan warga menunjukkan perilaku aji mumpung, menerabas, serta mengedepankan kepentingan diri dan kroni yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Sementara kehidupan sosial politik, ekonomi, dan budaya cenderung serba liberal. 

Pancasila dengan lima silanya yang luhur itu harus ditransformasikan ke dalam seluruh sistem kehidupan nasional sehingga terwujud Indonesia sebagai bangsa dan negara yang benar-benar Berketuhanan Yang Maha Esa, Berperikamanusiaan yang adil dan beradab, Berpersatuan Indonesia, Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta Berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila harus diberi pemaknaan nilai dan aktualisasi secara terbuka dan dinamis sehingga dapat menjadi rujukan dan panduan yang mencerdaskan, memajukan, dan mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

(6) Dalam Negara Pancasila terkandung paham nasionalisme yang menjunjung-tinggi nilai-nilai dan orientasi kebangsaan serta menjadi bingkai pandangan negara-bangsa. Paham nasionalisme serta segala bentuk pemikiran dan usaha yang dikembangkan dalam membangun Indonesia haruslah berada dalam kerangka dasar Negara Pancasila dan diproyeksikan secara dinamis untuk terwujudnya cita-cita nasional tahun 1945. Nasionalisme bukanlah doktrin mati sebatas slogan cinta tanah air minus pembuktian. Nasionalisme harus dimaknai dan difungsikan sebagai spirit, pemikiran, dan tindakan untuk membangun Indonesia secara amanah dan bertanggung jawab menuju terwujudnya cita-cita nasional di tengah badai masalah dan tantangan zaman. 

Nasionalisme yang bertumpu pada jiwa dan cita-cita kemerdekaan itu harus mampu menghilangkan benih-benih separatisme dan penyimpangan dalam bernegara. Segala bentuk separatisme yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan mencita-citakan bentuk negara yang lain sesungguhnya bertentangan dengan komitmen nasional dan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Demikian pula setiap bentuk penyelewengan dalam mengurus negara seperti korupsi, kolusi, nepotisme, penjualan aset-aset negara, pengrusakan sumberdaya alam dan lingkungan, penindasan terhadap rakyat, otoritanisme, pelanggaran hak asasi manusia, tunduk pada kekuasaan asing, serta berbagai tindakan yang merugikan hajat hidup bangsa dan negara merupakan penghianatan terhadap nasionalisme dan cita-cita kemerdekaan.

(7) Muhammadiyah sebagai kekuatan strategis umat dan bangsa berkomitmen untuk membangun Negara Pancasila dengan pandangan Islam yang berkemajuan. Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi. Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemungkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka bumi. 

(8) Dengan pandangan Islam yang berkemajuan, Muhammadiyah bertekad menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara Pancasila yang berkemajuan. Muhammadiyah berjuang di Negara Pancasila menuju Indonesia Berkemajuan sesuai dengan Kepribadiannya yaitu (a) Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan; (b) Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah; (c) Lapang dada, luas pemandangan dengan memegang teguh ajaran Islam; (d) Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan; (e) Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah; (f) Amar ma’ruf nahi mungkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik; (g) Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam; (h) Kerjasama dengan golongan Islam mana pun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam, serta membela kepentingannya; (i) Membantu Pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat yang Islam yang sebenar-benarnya; dan (j) Bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana. 

(9) Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam menyadari sepenuhnya bahwa Negara Indonesia merupakan tempat menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah bersama komponen umat Islam dan bangsa Indonesia lainnya berjuang dalam gerakan kebangkitan nasional menuju kemerdekaan dan berperan aktif dalam mendirikan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Karenanya sebagaimana terkandung dalam butir kelima Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) tahun 1969, sebagai suatu kesyukuran serta wujud tanggungjawab keagamaan dan kebangsaan “Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wata`ala: “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”.

 

Majelis Ulama Indonesia

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan wadah induk Ormas-Ormas Islam, para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia juga mengeluarkan putusan mengenai Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia IV di Pondok Pesantren Al-Falah, Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada 21-24 Sya’ban 1439 H/ 7-10 Mei 2018, MUI menegaskan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final dan mengikat seluruh umat Islam Indonesia. Keputusan ini ditandatangani Pimpinan Sidang Pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Vi Tahun 2018 dengan Ketua, Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, M.A. dan Sektretaris, Drs. H. Masduki Baidlowi, M.Si.

Sidang Komisi AIjtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VI Tahun 2018 di Kalimantan Selatan tentang “Masalah Strategis Kebangsaan (Masail Asasiyah Wathaniyah)” pada tema pembahasan Menjaga Eksistensi Negara dan Kewajiban Bela Negara, MUI mengeluarkan sejumlah poin keputusan penting, antara lain: (1) Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pada hakekatnya adalah wujud perjanjian kebangsaan (al-mitsaq al-wathani) yang berisi kesepakatan bersama (al-muahadah al-jamaiyah) bangsa Indonesia. Hal itu ditempuh melalui serangkaian perjuangan panjang yang dilakukan oleh para pejuang, terutama para ulama dan umat Islam dari generasi ke generasi. Perjuangan tersebut dilakukan demi mengikhtiarkan terwujudnya tata aturan yang menjamin terpeliharanya keluhuran agama serta kesejahteraan bagi penduduk negara-bangsa ini. 

(2) Perjanjian kebangsaan dalam bentuk NKRI berdasarkan Pancasila dengan sila pertama menjiwai sila-sila lainnya, menegaskan religiusitas dan ketauhidan. Perjanjian itu secara syari mengikat seluruh elemen bangsa yang wajib dipelihara dan dijaga dari setiap upaya mengubahnya. Hal itu merupakan manifestasi kecintaan kepada negara dan bangsa (hubb al-wathan) yang merupakan bagian dari keimanan. (3) Setiap upaya menjaga dan memelihara perjanjian kebangsaan tersebut akan menghadapi tantangan dan ancaman dari dalam dan luar negeri. Hal itu terjadi karena adanya kepentingan dari kelompok masyarakat di dalam negeri, dari suatu negara tertentu, atau dari aliansi kelompok masyarakat dalam negeri dengan negara-negara tertentu karena adanya kepentingan yang sama dan mengancam kelangsungan eksistensi dan kedaulatan negara dan bangsa ini. 

(4) Saat ini, era penjajahan fisik telah berlalu, tetapi agresi dalam bentuk lain tetap mengancam, seperti dalam bidang pemikiran, ekonomi, pendidikan, moral, sosial, dan budaya. Berbagai skenario pelemahan eksistensi negara dilancarkan secara sistematis, misalnya dengan melakukan perubahan peraturan perundang-undangan yang secara jangka panjang akan memperlemah negara, dan pengendalian media massa sebagai pembentuk opini publik sesuai dengan tujuan yang diinginkan.  (5) Dengan dasar pemikiran di atas, harus dilakukan upaya bela negara untuk mempertahankan eksistensi NKRI dengan memperkokoh karakter bangsa dan pilar-pilar kebangsaan, menuju tercapainya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan  yang baik, demi memperoleh ridha Allah SWT dan terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khairu ummah). 

(6) Dalam rangka memperkuat negara dan bangsa serta menghindari terjadinya pengkhianatan terhadap perjanjian kebangsaan, perlu dilakukan upaya: (a) Negara wajib mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, terutama dalam bidang hukum, ekonomi, sosial, dan politik, sehingga tercipta rasa adil, aman, dan sejahtera secara merata; (b) Setiap warga negara wajib melakukan bela negara, sehingga dapat mengantisipasi segala bentuk ancaman yang datang dari dalam maupun luar, pengkhianatan dan upaya pemisahan diri (separatisme) serta upaya mengubah bentuk negara-bangsa.

Keputusan serupa juga dikeluarkan MUI pada Pada Sidang Komisi A Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VI Tahun 2018 di Kalimantan Selatan tentang “Masalah Strategis Kebangsaan (Masail Asasiyah Wathaniyah)” pada tema pembahasan “Prinsip-Prinsip Ukhuwah Sebagai Pilar Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia” dengan sub tema “Ukhuwah Wathaniyah” poin 2. Pada keputusan ini, MUI menetapkan bahwa “Pancasila sebagai dasar, falsafah dan ideologi berbangsa dan bernegara merupakan tali pengikat seluruh warga bangsa dalam menjalin relasi antar sesama warga bangsa. Pancasila bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Orang yang menegakkan nilai-nilai Pancasila sudah selayaknya menjadi orang yang mempunyai komitmen tinggi terhadap penegakan nilai-nilai keagamaan.”



Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.