News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Kolom Herwindya : Nahdlatul Ulama Terkini: Potret Islam Nusantara

Kolom Herwindya : Nahdlatul Ulama Terkini: Potret Islam Nusantara

 

Nahdlatul Ulama Terkini: Potret Islam Nusantara

Penulis : 


Sri Herwindya Baskara Wijaya

Peneliti dan Ketua Research Group Kajian dan Terapan Komunikasi Universitas Sebelas Maret (RG KTK UNS)

....................


Panji Dwi Ashrianto

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta

..................

ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (www.Alexainfoterkini.com)

Alhamdulillah wa syukurillah, Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) saat ini telah berumur hampir 1 abad dalam hitungan Masehi, tepatnya sedang menapaki usia 99 tahun sejak berdirinya pada 31 Januari 1926 Masehi atau 16 Rajab 1344 Hijriyah di Surabaya, Jawa Timur. Artinya, tepat 31 Januari 2026 nanti NU genap berusia 100 tahun. Sesuatu yang tentunya sangat patut disyukuri mengingat tidak banyak organisasi, termasuk organisasi keagamaan, di dunia yang dapat bertahan hingga usia lebih dari 100 tahun. NU, tidak hanya mampu bertahan namun juga mampu eksis di tengah arus dinamika perubahan zaman yang kian rumit, dinamis, kompleks dan kompetitif ini. NU secara nasional terbukti mampu melewati ragam penggalan zaman dari periode imperialisme Belanda hingga era reformasi saat ini. NU secara global juga terbukti mampu bertahan dari rumitnya dunia paska Perang Dunia I (1914-1918) hingga tumpang tindihnya era disrupsi informasi dewasa ini.

Secara historis, NU didirikan oleh sejumlah ulama besar dan kharismatik nusantara kala itu, yakni Hadratussyeikh KHM. Hasyim Asya’ri (1871-1947), KH. Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971), KH. Bisri Syansuri (1886-1980), KH. Muhammad Kholil atau Syeikhona Kholil Bangkalan (1820-1925), KH. As’ad Syamsul Arifin (1897-1990), KH. Mas Alwi Abdul Aziz (1890-an-1945) dan KH. Ridwan Abdullah (1884-1962). NU secara keagamaan menganut paham ahlu sunnah wal jamaah (Aswaja) atau Sunni, aliran keagamaan terbesar dalam Islam dengan karakteristik jalan tengah (wasathiyah) antara pendekatan ekstrim aqli (rasionalis) dengan pendekatan ekstrim naqli (skripturalis). NU secara teologis mengadopsi garis pemikiran Asyar’iyah (Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, 873 M-935 M) dan Maturidiyah (Imam Abu Mansur al-Maturidi, 853 M-944 M). 

Secara fikih, NU merujuk pada pandangan Islam bermadzab yakni mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam tradisi Islam Sunni yakni Hanafi (Imam Abu Hanifah, 699 M-767 M), Maliki (Imam Malik bin Anas, 711 M-795 M), Syafi'i (Imam Muhammad bin Idris As-Syafii, 767 M-205 M), dan Hanbali (Imam Ahmad bin Hanbal, 780 M-855 M). Sementara dalam bidang tasawuf, NU menggunakan metode dari Imam Al-Ghazali (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i, 1058 M-1111 M) dan Imam Al-Junaid al-Baghdadi (Al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid Abu Qasim al-Qawariri al-Khazzaz al-Nahawandî al-Baghdadi al-Syafi'I, 830 M-910 M), yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.  

Berdirinya NU tidak lepas dari Komite Hijaz, sebuah kepanitiaan kecil yang dikomandani KH. Abdul Wahab Hasbullah pada medio 1924-1925. Komite Hijaz merupakan respons atas kebijakan antipluralitas mazhab keagamaan terutama madzabil arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali) yang akan digulirkan oleh Ibnu Saud, seorang raja Nejed (wilayah Arab Saudi sekarang) yang monolitik pandangan bermazhab-nya, Wahabi. Wahabi, atau sebagian pihak menyebutnya sebagai Salafi atau Salafi-Wahabi, dipandang sebagai gerakan keagamaan reformisme Islam yang diinisiasi seorang ulama ultra konservatif asal Uyainah Nejed (wilayah Arab Saudi sekarang) bernama Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792 M). Pokok ajaran adalah purifikasi (pemurnian) ajaran Islam dari berbagai unsur yang dipandangnya sebagai syirik (menyekutukan Tuhan), bid’ah (inovasi baru dalam beragama), takhayul (imajinasi irasional) dan khurafat (keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam). 

Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dipandang sebagai inisiator ajaran dan gerakan Wahabisme global yang pengaruhnya saat ini telah menyebar ke berbagai penjuru negara di dunia. Komite Hijaz inilah yang kemudian menjadi embrio (cikal bakal) lahirnya NU, selain juga prolog dari Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang) berdiri tahun 1918, Taswirul Afkar (Potret Pemikiran) berdiri tahun 1922 dan serta Nadlatul Wathon (Kebangkitan Tanah Air) berdiri tahun 1914. NU juga terlibat aktif dalam beragam praksis pewujudan dan pengokohan nilai-nilai nasionalisme Indonesia, mulai dari perjuangan fisik bersenjata secara kelembagaan melawan kolonialisme Belanda (1926-1948) dan Jepang (1942-1945), perumusan ideologi dan dasar negara Indonesia, Pancasila, tahun 1945, Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945 di Surabaya, Jawa Timur, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam berbangsa dan bernegara Indonesia pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984, sampai pada berbagai peran kebangsaan Indonesia hingga detik ini.


Potret Lembaga

Secara kelembagaan, data per 9 November 2021 dari PBNU, NU memiliki 1 Pengurus Besar (PB), 34 Pengurus Wilayah (provinsi), 521 Pengurus Cabang (kabupaten/kota), 31 Pengurus Cabang Istimewa (luar negeri), 14 badan otonom dan 18 lembaga di tingkat pusat (sindonews, 9/11/2021). Jumlah warga NU menurut data Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia tahun 2019 mencapai 91,2 juta orang. Sementara menurut hasil riset dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny J.A. pada Agustus 2023 jumlah warga NU mencapai 56,9% (sindonews.com, 23/9/23), atau perkiraan sekitar 158,6 juta jiwa dari total populasi Indonesia (jumlah populasi penduduk Indonesia pada tahun 2023 mencapai 278,8 juta jiwa). Maka tidak heran jika dilihat dari segi aspek jumlah pengikut, NU oleh berbagai pihak dilabeli sebagai Ormas Islam terbesar di Indonesia, bahkan mungkin di dunia.

Di bidang pendidikan, data yang diperoleh dari Lembaga Pendidikan (LP) Maarif NU, badan otonom NU yang menangani bidang pendidikan, jumlah madrasah dan sekolah di bawah naungan NU hingga per tahun 2022 mencapai 21.000 unit dimana 13.000 diantaranya telah terakreditasi A (nu.or.id, 12/12/22). Jumlah pondok pesantren di bawah naungan NU per tahun 2024 menurut Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), badan otonom NU yang fokus pada pengembangan pesantren dan pendidikan keagamaan, mencapai 28.200 unit (pcnucilacap.com, 30/12/24). Sementara jumlah perguruan tinggi di bawah NU menurut data dari Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU), lembaga di bawah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang mengurusi bidang pendidikan tinggi di lingkungan NU, per 13 Februari 2023 mencapai 254 unit yang terdiri dari universitas, institut, sekolah tinggi, politekni dan akademi (kompas.com, 13/2/23).

Terkait dengan citra organisasi, mengutip hasil jajak pendapat dari Litbang Kompas (PT Kompas Media Nusantara), 6-9 Januari 2025  (528 responden, 38 provinsi, tingkat kepercayaan 95%, margin of error penelitian ±4,22%), menunjukkan secara umum citra organisasi NU adalah sangat positif yakni 87,1% dengan rincian jawaban responden: baik (87,1%), buruk (10,8%) dan tidak tahu (2,1%). Jajak pendapat ini juga menemukan data bahwa ketika mendengar nama NU, maka yang terbayang di benak responden adalah menyebut NU sebagai organisasi keagamaan terbesar [di Indonesia] (27,6%), kiai/gus (14,3%), toleransi (7,3%), organisasi yang memiliki nilai dan kegiatan positif (7,0%), Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid (6,6%), pondok pesantren (4,5%), PBNU atau Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (4,4%), lainnya (11,8%) dan menjawab tidak tahu (16,5%). 

Jajak pendapat Litbang Kompas ini juga mendapatkan data tentang pandangan responden terkait lima aspek yakni aspek kontribusi NU pada aspek menjaga Pancasila dan persatuan bangsa yakni besar (81,2%), kecil (17,6%) dan tidak tahu (1,2%); aspek menjaga kerukunan umat beragama yakni besar (87,5%), kecil (11,5%) dan tidak tahu (1,0%); aspek memajukan pendidikan Indonesia yakni besar (75,1%), kecil (23,1%) dan tidak tahu (1,3%); aspek memajukan kesehatan Indonesia yakni besar (49,9%), kecil (43,2%) dan tidak tahu (6,9%); aspek memajukan ekonomi di Indonesia yakni besar (58,7%), kecil (35,2%) dan tidak tahu (6,1%). Tentang seberapa besar NU mempengaruhi kebijakan pemerintah, sebanyak 89,4% menjawab berpengaruh, 9,7% menjawab tidak berpengaruh dan 0,9% tidak tahu. 

Terkait dengan pertanyaan perlukah NU terlibat aktif dalam politik nasional, mayoritas responden menjawab perlu (79,6%), tidak perlu (19,6%) dan tidak tahu (0,6%). Sementara mengenai politik kebangsaan dan peran apa yang seharusnya diperkuat NU, secara berurutan responden menjawab agar NU memperjuangkan kebijakan yang pro rakyat kecil (35,4%), menangkal gerakan-gerakan radikalisme (32,6%), menjadi mediator dalam konflik politik yang terjadi (17,3%), memberikan pendidikan politik untuk masyarakat (10,5%), lainnya (1,2%) dan menjawab tidak tahu (0,3%).


Internasionalisasi

Dalam pandangan penulis, setidaknya terdapat empat hal yang yang menjadi penanda eksistensi, peran dan citra NU di panggung internasional. Pertama, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU). PCINU adalah struktur organisasi NU yang berada di luar negeri. PCINU memiliki kedudukan istimewa dalam organisasi NU, karena berada di luar Indonesia dan melayani warga Nahdliyin di negara-negara tersebut. PCINU memiliki tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama'ah an nadliyah serta nilai-nilai moderatisme, toleransi dan inklusifitas di negara-negara tempat PCINU berada. 

Saat ini, setidaknya telah berdiri 34 PCINU di berbagai negara (jatimnetwork.com, 20/1/22), antara lain Timur Tengah (PCINU Arab Saudi, PCINU Qatar, PCINU Lebanon, PCINU Uni Emirat Arab, PCINU Kuwait, PCINU Bahrain, PCINU Oman, PCINU Yaman, PCINU Yordania), Afrika (PCINU Mesir, PCINU Sudan, PCINU Tunisia, PCINU Maroko, PCINU Aljazair, PCINU Libya). Eropa (PCINU Belanda, PCINU Belgia, PCINU Inggris, PCINU Jerman, PCINU Perancis, PCINU Italia, PCINU Rusia), Asia (PCINU Malaysia, PCINU Thailand, PCINU Jepang, PCINU Taiwan, PCINU Tiongkok, PCINU Turki, PCINU Hongkong, PCINU Korea Selatan, PCINU Brunai Darussalam), Amerika Utara (PCINU Amerika Serikat, PCINU Kanada), Australia-New Zealand (PCINU Australia-Selandia Baru). Seiring waktu, diprediksi jumlah PCINU akan terus bertambah seiring dengan persebaran diaspora para kader, warga dan simpatisan NU ke berbagai penjuru dunia.

Kedua, Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa atau PSNU Pagar Nusa. Pagar Nusa adalah organisasi beladiri pencak silat yang merupakan badan otonom (banom) di bawah naungan NU. Nama "Pagar Nusa" merupakan akronim dari "Pagarnya NU dan Bangsa", sebuah simbolisme yang sakral dan mendalam terkait dengan perannya sebagai penjaga dan pelindung NU dan bangsa Indonesia. Pagar Nusa secara historis berdiri pada 3 Januari 1986 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Dengan motto “la ghaliba illa billah” (tidak ada yang menang kecuali dengan pertolongan Allah), Pagar Nusa didirikan untuk menyatukan, mewadahi dan mensinergikan berbagai perguruan silat NU yang beragam dan sebelumnya berdiri sendiri-sendiri. 

Pagar Nusa digagas oleh KH. Muhammad Nur Aziz, seorang ulama sekaligus pendekar NU dari Ponorogo, Jawa Timur dengan Ketua Umum Ke-1 PSNU Pagar Nusa adalah KH. Abdullah Maksum Jauhari (Gus Maksum), seorang ulama dan pendekar NU ternama dan pilih tanding dari Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Diperkirakan jumlah pendekar Pagar Nusa yang memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) per 5 Desember 2022 mencapai 3 juta orang pendekar (nu.or.id, 5/12/22). Selain di Indonesia sendiri, secara global saat ini Pagar Nusa telah tersebar sejumlah negara lain seperti Azerbaijan, Austria, Tunisia, Maroko, Swiss, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, Mesir, dan Jepang. Pagar Nusa tidak hanya sebagai sarana promosi NU, namun juga sebagai alat diplomasi bangsa dan negara Indonesia untuk mengenalkan dan menyebarkan pencak silat ke berbagai penjuru dunia.


Bantuan Kemanusiaan

Ketiga, misi kemanusiaan. NU tercatat terlibat aktif dalam berbagai misi kemanusiaan internasional. Sebagai misal, NU terlibat aktif dalam upaya penyelesaian konflik di sejumlah negara seperti Afganistan, Palestina, Thailand (selatan) dan Filipina (selatan). NU melalui Lembaga Amil Zakat, Infak, Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU), lembaga filantropi dan nirlaba nasional milik NU (Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 65/2005), juga melakukan penyaluran bantuan kemanusiaan berupa kebutuhan pokok (makanan, minuman, pakaian dan obat-obatan) ke sejumlah wilayah konflik atau bencana di luar negeri seperti Palestina, Turki, Myanmar dan lainnya. Catatan dari  nucare.id (2025), saat ini NU Care-LAZISNU telah memiliki jaringan pelayanan dan pengelolaan ZIS di 29 negara, di 34 provinsi atau 376 kabupaten/kota di Indonesia, dengan lebih dari 10 juta relawan.

NU melalui LAZISNU dan Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga menggelar program “Dai Go Global”. NU melalui program ini mengirim para dai ke luar negeri seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Timor Leste, Jepang, Belanda dan lainnya guna memenuhi kebutuhan terkait peribadahan Warga Negara Indonesia (WNI) atau warga negara setempat. Semua misi kemanusiaan internasional ini selain untuk mengenalkan dan mengekspasikan NU secara global sebagai organisasi keagamaan sekaligus gerakan kemanusiaan, hal terkait juga dalam rangka untuk menjalankan perintah agama bahwa Islam adalah agama kemanusiaan. Pada Munas PBNU 2025, NU menegaskan bahwa memberikan bantuan kemanusiaan, seperti obat-obatan, pangan, atau yang lainnya, kepada negara yang sedang berkonflik merupakan fardu kifayah. Namun, ia menegaskan bahwa keterlibatan secara fisik dalam konflik tersebut hukumnya haram karena dapat menimbulkan dampak negatif dan fitnah besar.

Keempat, dialog lintas iman dan lintas peradaban. NU sejauh ini terlibat aktif dalam berbagai dialog lintas iman dan lintas peradaban global. Diantara forum internasional tersebut, seperti Jakarta-Vatikan Declaration di Indonesia (2024), Sant’Egidio International Forum (SIF) di Paris (2024), ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) di Indonesia (2023), International Meeting for Peace Religions and Cultures in Dialog (IMPRCD) di Jerman (2023), R20 International Summit of Religious Authorities (R20 ISORA), World Peace Forum (WPF) di Indonesia (2022), Faith and Science: An Appeal for COP26 di Vatikan (2021), International Conference of Islamic Scholar (ICIS) di Indonesia (2014), United Session on Human Right di Swiss (2015), Asian Committee on Religions for Peace (ACRP) di Indonesia (2013), World Interfaith Harmony Week 2012 (WIHW 2012) di Amerika Serikat (2010), World Conference on Religions for Peace (WCRP) di Jepang (2006) serta berbagai forum internasional sejenis.

Tidak hanya terlibat aktif di forum lintas iman dan lintas peradaban di level internasional, NU juga aktif dalam berbagai forum global terkait persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), diantaranya Intra-Islam Dialogue di Bahrain (2025), International Conference on Humanitarian Islam (Muktamar al-Dawli al-Islam Lil Insaniyah) di Indonesia (2024), Global Conference on Women’s Rights in Islam (GCWRI) di Indonesia (2024), Abu Dhabi Forum for Peace di Uni Emirat Arab (2024), International Union of Muslim Scholars (IUMS) di Qatar (2024), The First International Conference on Religious Extremism: The Intellectual Premises and Counter Strategies di Mesir (2022), International Conference of Renewal of Islamic Thought di Mesir (2020), High Level Consultation of World Muslim Scholars On Wasatiyat Islam (HLC-WMS) di Indonesia (2018), The Amman Message di Yordania (2024), dan berbagai forum internasional serupa.

Kelima, penghargaan internasional. NU bersama Muhammadiyah secara institusional mendapatkan penghargaan internasional yakni Zayed Award for Human Fraternity pada tahun 2024 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA). Penghargaan ini merupakan pengakuan tak terbantahkan atas kontribusi NU dan Muhammadiyah dalam mempromosikan nilai-nilai persaudaraan dan perdamaian antar manusia, seperti yang tertuang dalam Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama, 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, UEA. Selain kepada NU dan Muhammadiyah, Zayed Award for Human Fraternity juga diberikan kepada Profesor Sir Magdi Yacoub (ahli bedah jantung asal Mesir) dan Sister Nelly Leon Correa (pimpinan Yayasan Mujer Levántate, Chili).

Sebelumnya, NU dan Muhammadiyah secara kelembagaan juga pernah diajukan oleh sejumlah pihak untuk meraih Nobel Perdamaian tahun 2019 dan tahun 2022. Muhammadiyah dan NU, dinilai layak menerima Nobel Perdamaian karena peran aktif keduanya sejak lama dalam perdamaian dunia sekaligus sebagai upaya promosi lebih jauh atas Islam ala Indonesia. Untuk tahun 2019, terdapat 301 kandidat (223 individu dan 78 organisasi) dari nominator. Meski belum berhasil memperoleh nobel paling bergengsi di dunia tersebut, namun Muhammadiyah bersama NU berhasil masuk dalam jajaran 10 besar nominasi (nobelprize.org, 2019; Azra, 2019; Wijaya, 2025).


Islam Nusantara

Berbagai peran keumatan, kebangsaan, kebhinnekaan dan kemanusiaan NU tersebut tidak lepas dari apa yang disebut dengan Islam Nusantara. Islam Nusantara pada intinya merupakan model Islam yang berkembang dan menjadi khas di wilayah nusantara (Indonesia). Islam nusantara bukanlah “agama baru” namun lebih merupakan hasil interaksi yang panjang, dinamis dan komplementer antara ajaran Islam dengan adat, budaya, tradisi, dan berbagai kearifan lokal yang ada di nusantara. Karena itu, Islam Nusantara lebih menekankan pada pemahaman serta praktik Islam yang moderat, inklusif, dan toleran serta menghormati fakta kemajemukan budaya dan sosial di Indonesia. Islam Nusantara merupakan hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas budaya Indonesia (nu.or.id, 22/4/15). Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikih-nya (Fachruddin, 2015).

Model Islam ala Islam Nusantara inilah yang diyakini, dipilih, disemai dan dikembangkan NU dan menjadi ikon dan tagline resmi dari NU. Bahkan, jika dilihat dari akar historisnya, Islam nusantara sebenarnya sudah ada dan berkembang sejak berabad-abad lalu semenjak Islam masuk secara masif ke nusantara khususnya pada abad ke-16, terutama pada era Wali Songo di Tanah Jawa. Secara resmi, istilah Islam Nusantara baru diangkat dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015 dan menjadi tema besar muktamar yakni "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Islam nusantara bisa dikatakan sebagai pembeda dengan sebagian “model Islam lain” yang dipandangnya terkesan kurang mengedepankan nilai-nilai toleransi, moderatisme, inklusifitas, bahkan nasionalisme. 

Karakeristik Islam nusantara sendiri menurut perspektif Ketua Umum PBNU periode 2010-2021, Prof. KH. Said Agiel Siradj, sebagaimana dikutip oleh Zuhairi Misrawi (2017), setidaknya mencakup empat karakter yakni semangat keagamaan (al-ruh al-diniyyah), semangat kebangsaan (al-ruh al-wathaniyyah), semangat kebhinekaan (al-ruh al-ta’adudiyyah) dan semangat kemanusiaan (al-ruh al-insaniyyah). Semangat keagamaan yakni bahwa yang dimaksudkan bukan untuk mengedepankan formalisasi agama, melainkan lebih mengutamakan budi pekerti yang baik (akhlaqul karimah). Ini sejalan dengan misi utama kedatangan Nabi Muhammad SAW yang membawa misi untuk menyempurnakan akhlaqul karimah. 

Semangat kebangsaan yakni bahwa setiap umat Islam di negeri ini, Indonesia, hendaknya mempunyai nasionalisme, cinta Tanah Air. Hal tersebut sudah terbukti dalam sejarah prakemerdekaan Republik Indonesia, para ulama bersama para pendiri bangsa yang lain saling bahu membahu untuk mewujudkan kemerdekaan, dan bersama-sama untuk melahirkan Pancasila sebagai falsafah bernegara. Bahkan, para ulama menegaskan Pancasila sebagai dasar negara sudah bersifat final. 

Semangat kebhinnekaan yakni bahwa setiap umat Islam harus mengenali dan menerima keragaman budaya, agama, dan bahasa. Tuhan pasti bisa jika hendak menjadikan makhluk-Nya seragam, tetapi Tuhan sudah memilih untuk menciptakan makhluk-Nya beragam agar di antara mereka saling mengenali, menghormati serta merayakan kebhinnekaan. Semangat kemanusiaan yakni bahwa setiap umat Islam hendaknya mampu menjadi prinsip kemanusiaan sebagai pijakan utamanya. Persaudaraan kemanusiaan harus diutamakan dalam rangka menjaga tatanan sosial yang damai dan harmonis. Islam pada hakikatnya adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Semua ikhtiar NU ini melalui kredo Islam Nusantara pada intinya adalah sebagai ikhtiar mewujudkan Islam rahmatan lil alamin (Islam sebagai rahmat bagi alam semesta). Akan tetapi, mengingat permasalahan dunia saat ini dan ke depan semakin rumit, dinamis, kompetitif dan kompleks, maka adalah menjadi keniscayaan bagi praksis (gagasan dan praktik) Islam Nusantara agar senantiasa dapat terus disempurnakan sebagai tuntutan adaptasi zaman. Sungguh besar harapan semua pihak akan peran yang lebih optimal dan komprehensif dari NU dalam upaya pengentasan persoalan keumatan, kebangsaan, kebhinnekaan dan kemanusiaan. Agar, Islam Nusantara tidak sekadar sebagai slogan organisasi semata, namun juga benar-benar menjadi ruh, spirit dan pedoman hakiki bagi NU dalam mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.

Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.