News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Kolom Herwindya : Palestina adalah Isu Kita Bersama!

Kolom Herwindya : Palestina adalah Isu Kita Bersama!

 Palestina adalah Isu Kita Bersama!


Penulis

Sri Herwindya Baskara Wijaya

Peneliti dan Ketua Research Group Kajian dan Terapan Komunikasi

Universitas Sebelas Maret Surakarta

ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (www.Alexainfoterkini.com)

Konflik Israel-Palestina sampai detik ini masih terus berlangsung seperti tiada berkesudahan. Konflik ini telah berlangsung lebih dari 75 tahun sejak Israel mencaplok wilayah Palestina dan mendeklarasikan diri secara sepihak menjadi sebuah negara pada 14 Mei 1948. Jumlah korban dari kedua belah pihak yang berkonflik, baik korban tewas maupun korban terluka, sudah tidak terhitung jumlahnya dimana mayoritasnya berasal dari bangsa Palestina. Bahkan pada konflik Israel-Hamas yang berlangsung hingga saat ini sejak 27 Oktober 2023 lalu, jumlah korban tewas di pihak warga Gaza menurut laporan dari otoritas kesehatan di Gaza per 12 Juni 2025 telah menembus angka 55.104 jiwa dan korban yang terluka mencapai 127.394 orang. Jumlah korban tewas maupun terluka masih akan terus bertambah seiring Israel terus menginvasi Jalur Gaza.

Konflik Israel-Palestina telah menjadi konflik terlama sekaligus titik terpanas dan paling brutal di dunia dalam rentang kurun waktu 75 tahun terakhir ini. Sebagai orang yang punya hati nurani, tentunya kita sangat prihatin dengan konflik tersebut terutama kepada para korban warga Palestina baik yang tewas maupun terluka. Kita juga sangat mengutuk kebiadaban Zionis Israel yang terus menggempur bangsa Palestina tiada henti seakan nyawa mereka, bangsa Palestina, tiada berarti. Kita juga sangat prihatin sekaligus sangat kecewa kepada lembaga sekelas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tidak berkutik menghentikan kebiadaban Zionis Israel terhadap bangsa Palestina hingga detik ini.

Di satu sisi, kita sangat menaruh hormat sekaligus mengucapkan terima kasih tidak terhingga kepada semua pihak manapun yang peduli pada nasib bangsa Palestina. Melalui berbagai cara, dari penggalangan opini publik, penyaluran donasi, bahan pokok dan obat-obatan, pengiriman tenaga medis hingga jalur diplomasi kemanusiaan, kalangan ini berusaha memberikan solusi terbaik yang bisa dilakukan guna membantu meringankan penderitaan bangsa Palestina. Kalangan ini berasal dari berbagai latar belakang agama, ras, etnis, suku, golongan, bangsa dan negara. Mereka disatukan oleh suara hati nurani yakni sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan. Mereka sadar bahwa isu Palestina adalah isu bersama yakni isu kemanusiaan global.


Bukan Hanya Isu Bangsa Arab

Pasalnya, ada sebagian pihak yang memandang isu Palestina lebih sekadar sebagai isu bangsa Arab. Pandangan kalangan ini didasarkan pada argumen bahwa bangsa Palestina adalah bagian dari bangsa Arab atau setidak-tidaknya wilayahnya termasuk Timur Tengah di mana bangsa Arab adalah mayoritas di dalamnya. Selain itu, pandangan ini didasarkan pada persepsi akan sejarah konflik Israel-Palestina yang lebih banyak melibatkan negara-negara Arab daripada negara-negara lain di dunia. Setidaknya, kata mereka, argumen ini dibuktikan dari meletusnya Perang Arab-Israel tahun 1948, tahun 1967 dan Perang Yon Kippur tahun 1973. Ketiga perang ini melibatkan beberapa negara Arab seperti Lebanon, Yordania, Suriah, Mesir, Irak dan Libya melawan Zionis Israel. 

Pandangan kalangan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Terjadinya Perang Arab-Israel I, Perang Arab-Israel II dan Perang Yon Kippur bukan sebagai alasan tepat bahwa isu Palestina sepenuhnya menjadi urusan bangsa Arab semata. Buktinya, begitu Israel mendeklarasikan kemerdekaannya tahun 1948 di wilayah Palestina, mayoritas negara-negara di dunia ikut bereaksi meresponsnya, bukan hanya bangsa Arab saja. Salah satu isi Dasa Sila Bandung pada Konferensi Asia Afrika (KAA), 18-24 April di Bandung, Indonesia yang diikuti 304 perwakilan dari 29 negara adalah mengutuk pendudukan Israel atas wilayah Palestina.

Selain itu, Gerakan Non Blok (GNB) atau Non Alignent Movement (NAM) (berdiri tahun 1961 di Beograd, Yugoslavia) yang beranggotakan 120 negara juga secara konsisten mengutuk pendudukan Israel atas Palestina serta mendukung Palestina menjadi negara merdeka. Deklarasi Kampala pada KTT Ke-19 GNB, 15-20 Januari 2024 di Kampala, Uganda, secara tegas mengeluarkan pernyataan yang berisi desakan diakhirinya pendudukan Israel di Palestina, pemenuhan kemerdekaan dan kedaulatan Negara Palestina, penghentian invasi Zionis Israel ke Jalur Gaza saat ini serta pengiriman bantuan kemanusiaan dengan segera. 

Selain itu, mayoritas negara anggota PBB saat ini juga mendukung upaya Palestina menjadi anggota penuh PBB. Pada sidang Majelis Umum PBB, 10 Mei 2024 di New York, Amerika Serikat, sebanyak 143 negara mendukung, 9 negara menolak dan 25 negara abstain. Parlemen Uni Eropa juga telah mengeluarkan mosi rekomendasi kepada 50 negara anggotanya untuk mengakui Negara Palestina. Sejauh ini posisi Palestina di PBB adalah sebagai non-member observer state PBB melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. 67/19 (Indonesia sebagai co-sponsor resolusi) pada 29 November 2012. Palestina juga menjadi anggota UNESCO sejak tahun 2011, INTERPOL sejak tahun 2017, dan Organisation for the Prohibition of Chemical Weapon (OPCW) sejak Mei 2018. Bendera Palestina pada 30 September 2015 juga secara resmi berkibar di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat.


Isu Kemanusiaan Global

Selain ada yang melihat konflik Israel-Palestina lebih sebagai isu bangsa Arab, ada juga sebagian kalangan yang sampai batas tertentu memandang konflik Palestina-Israel lebih sebagai isu agama. Pandangan mereka ini setidaknya didasarkan pada alasan bahwa selama ini ada kesan kuat bahwa pihak yang paling bereaksi ketika terjadi gejolak Israel-Palestina adalah Dunia Islam, baik itu dari internal maupun eksternal umat Islam Palestina. Namun sebaliknya, justru banyak pihak yang melihat isu Palestina adalah lebih sebagai isu kemanusiaan global. 

Hal ini misalnya dibuktikan dari kebijakan pengakuan keberadaan negara Palestina oleh Gereja Katholik Roma di Vatikan tahun 2015. Tahta Suci Vatikan dan Negara Palestina pada 26 Juni 2015 menyepakati perjanjian tentang operasi gereja di beberapa bagian Tanah Suci di bawah kekuasaan Palestina. Perjanjian itu juga menekankan dukungan bagi solusi dua negara untuk mengatasi konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun (VOA Indonesia, 3/1/16). Dengan pernyataan itu pula, Vatikan secara resmi menegaskan pengakuan de facto yang dibuat pada 2012 terhadap keberadaan negara Palestina mulai berlaku (Liputan6.com, 3/1/16).

Tahta Suci Vatikan di bawah Paus Fransiskus juga bersemangat untuk memiliki peran diplomatik yang lebih besar di Timur Tengah, di mana banyak warga Kristen telah melarikan diri karena konflik di negara-negara lain seperti Suriah, Irak dan tempat lainnya (termasuk juga Palestina) (Republika.co.id, 3/1/16). Akibatnya, sikap Vatikan itu dikecam oleh Zionis Israel. Pun, tatkala Paus Fransiskus wafat pada 21 April 2025 di Domus Sanctae Marthae di Kota Vatikan, Kementerian Luar Negeri Israel dilaporkan memerintahkan korps diplomatiknya di seluruh dunia untuk menghapus pernyataan belasungkawa untuk mendiang Paus Fransiskus (Kompastv.com, 23/4/25). Pemerintah Zionis Israel juga diketahui tidak mengirimkan pejabat tingginya (hanya diwakili Duta Besar Israel untuk Vatikan, Yaron Sideman) pada pemakaman Paus Fransiskus, 26 April 2025 di Basilika Santa Maria Maggiore di Roma, Italia. 

Sebagian kalangan Yahudi pun tidak sedikit yang menentang Zionis Israel. Salah satunya adalah Neturei Karta, sebuah organisasi Yahudi Ortodoks yang didirikan oleh Rabbi Amram Blau dan Rabbi Aharon Katzenelbogen pada 1938 di Yerusalem. Sekte Yahudi ini begitu getol menolak eksistensi dan menyerukan pembubaran negara Zionis Israel serta menentang ideologi Zionisme. Anggota organisasi ini tersebar di berbagai negara di dunia dan sering melakukan demo anti Zionis Israel. Salah satu tokoh sekte ini, Moshe Hirsch, pernah menjadi penasehat Presiden Palestina waktu itu, Yasser Arafat, untuk urusan ke-Yahudi-an sejak tahun 1980-an. Anggota Neturei Karta umumnya merupakan keturunan dari Yahudi Hungaria dan Yahudi Lithuania yang tinggal di Kota Tua Jerusalem pada awal abad ke-19. 

Di Indonesia sendiri, misalnya, pada tahun 2017, para tokoh lintas agama yang tergabung dalam Forum Solidaritas Lintas Agama (FSLA) menyerukan perjuangan kedaulatan Palestina. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan tragedi kemanusiaan telah terjadi sejak Israel menduduki tanah Palestina sejak 1948. FSLA mendukung langkah Pemerintah Indonesia untuk terus memperjuangkan dengan lantang tentang kedaulatan Palestina. Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) mengecam keras keputusan Presiden AS, Donald Trump [memindahkan Kedubes-nya ke Yerussalem dari Tel Aviv dan mengakui Yerussalem sebagai ibukota Israel] karena berdampak buruk pada stabilitas politik dan keamanan internasional. Selain itu keputusan itu melanggar setidaknya resolusi PBB.

Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) mendesak PBB mengambil langkah tegas dan tanpa kompromi dalam menyikapi persoalan kebijakan Presiden Trump ini. Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) juga menyatakan, permasalahan Israel-Palestina harus diletakkan dalam bingkai persoalan kemanusiaandan menolak berbagai bentuk kekerasan yang mengingkari hak-hak kemanusiaan. Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI) meminta penyelesaian masalah Palestina-Israel dilakukan lewat dialog konstruktif agar kedua pihak bisa hidup berdampingan dengan damai (CNN Indonesia, 15/12/2017). Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) juga mendukung pemerintah Indonesia membuat sebuah keputusan bijak terhadap kondisi Palestina dan Israel melalui solusi dua negara (Republika.co.id, 18/12/21).


Berjuang Bersama

Saat ini di Palestina, diperkirakan ada sekitar 200.000 penganut Kristen di Palestina dengan berbagai mazhab seperti Ortodoks Yunani, Katolik Roma, Ortodoks Armenia, Koptik, Episcopalian, Ortodoks Etiopia, Katolik Yunani, Lutherian, Maronit, Ortodoks Syria, dan beberapa denominasi Protestan. The Lutheran Ecumenical Institution the Diyar Consortium mencatat setidaknya terdapat sekitar 51.710 umat Kristen yang tersebar di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem. Kebanyakan dari umat Kristen Palestina ini tinggal di Betlehem, Ramallah, Nablus, dan Yerusalem Timur. Karena disebabkan represi, kekerasan, dan ancaman dari kelompok konservatif Israel membuat umat Kristen Palestina dalam kondisi sulit sehingga mendorong sebagian mereka keluar dari wilayah Palestina sebagai migran (Tirto.id, 23/12/16).

Dalam konflik Israel-Palestina, umat Kristen Palestina bersama kalangan muslim Palestina bahu-membahu saling bekerja sama melawan pendudukan Zionis Israel. Palestina adalah Tanah Air bagi mereka semua. Sehingga tatkala Zionis Israel mendudukinya, maka kaum Kristen Palestina pun juga turut meradang. Hal ini dibuktikan dengan tampilnya banyak tokoh Kristen Palestina yang ikut melawan pendudukan Zionis Israel. Sebut saja Raymonda Tawil Hawa, seorang penyair, aktivis politik, jurnalis, penulis sekaligus Ibu mertua Presiden Palestina Yasser Arafat. Ada juga nama George Habbash, pendiri Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) dan Wadie Haddad, salah seorang pemimpin Palestina dari PFLP. Juga, ada nama Khalil Al-Sakakini (cendekiawan, nasionalis Arab kebangkitan budaya Al-Nahda), Kamal Nasser (penulis, pemimpin politik PLO), Emil Ghuri (Sekjen Partai Arab Palestina, perwakilan delegasi Palestina di PBB tahun 1947), dan lainnya.

Berbagai partai politik lintas ideologi di Palestina juga aktif berjuang menentang kolonialisme Zionis Israel. Misalnya saja, Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina atau Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) yang berhaluan kiri. PFLP didirikan tahun 1967 oleh seorang Kristen Ortodoks, George Habbash dan menjadi salah satu faksi besar dalam Palestine Liberation Organization (PLO), organisasi pimpinan Yasser Arafat. Selain FPLP, terdapat juga Barisan Demokratis Pembebasan Palestina atau Al-Jabha al-Dimuqratiya Li-Tahrir Filastin atau Democratic Front for the Liberation of Palestine (DFLP) (asas kiri), 

Terdapat juga gerakan Fatah atau Harakat Al-Tahrīr Al-Filastini atau Gerakan Nasional Pembebasan Palestina (asas nasionalis), Hamas atau Harakat Al-Muqāwamah Al-Islāmiyyah atau Gerakan Perlawanan Islam (asas Islam), Persatuan Demokratik Palestina (FIDA) atau Al-Ittihad Al-Dimuqrati Al-Filastini (asas nasionalis kiri), Inisiatf Nasional Palestina (PNI) atau Al-Mubadara Al-Wataniya Al-Filastiniyya (asas nasionalis), Partai Rakyat Palestina (PPP) atau Hizb Al-Sha`B Al-Filastini (asas Nasionalis Kiri), Partai Front Rakyat Perjuangan Palestina (PSF) atau Jabhat Al-Nidal Al-Sha'biyya Al-Filastini (asas Nasionalis Kiri), dan berbagai gerakan perjuangan kemerdekaan Palestina lainnya.


Suara Hati Nurani

Sejak invasi brutal Zionis Israel ke Jalur Gaza pada 27 Oktober 2023 lalu, banyak kalangan dari beragam latar belakang di berbagai penjuru dunia turun ke jalan untuk menentang agresi Zionis Israel tersebut. Menariknya, justru banyak dari mereka yang berasal dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Kanada, Swedia, Jerman, Italia, Spanyol, Belanda, Portugal, Denmark, Finlandia, dan lainnya. Mahasiswa dari kampus-kampus besar di Amerika seperti Universitas Harvard, Universitas Columbia, Universitas Yale, Universitas Michigan, Universitas New York, Universitas Southern California dan lainnya juga ambil bagian dalam aksi unjuk rasa menentang invasi Zionisme Israel ke Jalur Gaza tersebut. 

Bahkan, Universitas Harvard, salah satu kampus top dunia, sampai disanksi oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump (dana hibah dari Pemerintah Federal Amerika Serikat untuk Universitas Harvard dibekukan sebesar US$ 2,3 miliar atau setara Rp 38,64 trilun (kurs Rp 16.803 per dolar AS) karena memberikan kebebasan akademik kepada mahasiswanya untuk berunjuk rasa menentang agresi Zionis Israel ke Jalur Gaza saat ini. Hingga pada akhirnya, bahasa kemanusiaan telah menyatukan siapapun yang memiliki hati nurani dalam melihat nestapa penderitaan bangsa Palestina akibat kebiadaban Zionisme Israel yang terbukti merobohkan nilai-nilai nurani kemanusiaan.

Mengutip perspektif dari Romo Frans Magnis Suseno (1987), seorang imam Katholik sekaligus filsuf terkemuka di Indonesia, “Suara hati adalah bentuk kesadaran yang timbul pada manusia ketika dihadapkan pada tugas-tugas dan tanggung jawabnya dalam menghadapi masalah konkret. Suara hati membantu manusia memahami nilai-nilai yang mereka yakini membedakan antara benar dan salah serta menentukan pendekatan mereka dalam menghadapi dilema moral.” Pembelaan seutuhnya kepada bangsa Palestina adalah bagian dari manifestasi yang obyektif, kudus dan jernih atas suara hati nurani kita sebagai manusia. Dan mendengarkan suara hati nurani adalah bagian dari pertanggungjawaban kita terhadap nilai-nilai luhur universalitas kemanusiaan itu sendiri.


Sri Herwindya Baskara Wijaya

Peneliti dan Ketua Research Group Kajian dan Terapan Komunikasi

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.