Kolom Herwindya : Pancasila, Umat Islam & Realitas Kemajemukan Bangsa
Pancasila, Umat Islam & Realitas Kemajemukan Bangsa
Sri Herwindya Baskara
Wijaya
Peneliti dan Ketua
Research Group Kajian dan Terapan Komunikasi
Universitas Sebelas
Maret (UNS)
Pemerhati masalah sosial, politik dan keagamaan
Pancasila
merupakan dasar negara, ideologi dan falsafah bangsa dan negara Republik
Indonesia. Pancasila adalah rumusan dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara etimologis, Pancasila berasal
dari bahasa Sanskerta yakni Panca berarti lima dan Sila berarti prinsip atau
asas. Lima asas ini secara tersurat tercantum dalam konstitusi Republik
Indonesia, tepatnya pada alenia keempat Pembukaan UUD 1945, antara lain
berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pancasila bersumber dari akar sistem sosial budaya masyarakat
Indonesia yang majemuk baik suku, agama, ras dan antargolongan.
Setiap tanggal 1 Juni, Pancasila diperingati secara nasional
sebagai Hari Lahir Pancasila sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Pancasila kali pertama dicetuskan
oleh Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam pidatonya berjudul “Lahirnya
Pancasila” pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang dipimpin Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat. Soekarno
mengemukakan gagasannya tentang dasar negara Indonesia bernama “Pancasila” yang
terdiri dari kebangsaan Indonesia atau nasionalisme, kemanusiaan atau internasionalisme,
mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, serta ketuhanan yang
berkebudayaan. “Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme,
mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca
Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa
– namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima
dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi” (BPIP, 2023).
Pancasila digali melalui kontemplasi jernih dan mendalam
oleh Soekarno pada masa pengasingannya oleh Kolonial Belanda di Ende, Flores,
Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 14 Januari 1934 - 18 Oktober 1938. Tidak heran
jika kemudian Ende disebut sebagai Kota Pancasila. Di Ende ini, terdapat
beberapa jejak peninggalan historis Soekarno, seperti Rumah Museum (rumah
pengasingan Soekarno), Taman Renungan Pancasila (tempat kontemplasi Soekarno
terkait perumusan dasar negara Indonesia, Pancasila), makam mertua Soekarno,
Ibu Amsi (ibunda dari Inggit Ganarsih, isteri Soekarno), Gedung Pertunjukan
Imaculata (gedung pertunjukan tempat sejumlah naskah drama karya Soekarno
dipentaskan, diantaranya Rahasia Kelimoetoe, Taoen 1945, Nggera Ende,
Koetkoetbi, dan Dr. Sjaitan) serta Serambi Soekarno (bangunan di Biara Santo
Yosef Katedral Ende untuk mengenang persahabatan Soekarno dengan para tokoh
Societas Verbi Divini (SVD) atau Serikat Sabda Allah atau populer dengan
sebutan Soverdi).
Sebelumnya pada sidang BPUPKI, 29 Mei 1945, anggota BPUPKI,
Muhammad Yamin secara lisan mengusulkan lima asas dasar negara Indonesia yakni
Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan
Kesejahteraan Rakyat. Setelah berpidato, Muhammad Yamin secara tertulis
menyodorkan asas dan dasar negara Indonesia yang isi redaksinya berbeda dengan
isi pidatonya sebelumnya, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan persatuan
Indonesia, Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Anggota BPUPKI yang lain, Soepomo pada
sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, menyampaikan lima rumusan dasar negara Indonesia
yaitu Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan Lahir dan Batin, Musyawarah dan
Keadilan Rakyat. Pancasila secara historis adalah buah kesepakatan para pendiri
bangsa (founding father).
Para pendiri bangsa dari berbagai latar suku, agama, etnis,
dan orientasi politik yang berbeda, dimana saat itu berhimpun dalam Dokuritsu
Junbi Cosakai atau BPUPKI (dibentuk 29 April 1945, 59 anggota) maupun Dokuritsu
Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (dibentuk 7
Agustus 1945, 27 anggota), mengembrio dan kemudian mensepakati Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia. Meskipun dalam proses penyepakatannya
terjadi dialektika pergumulan ide, pemikiran dan argumentasi diantara para
perumusnya, namun pada akhirnya didasari atas kebesaran hati dan kelapangan
jiwa demi tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk, maka Pancasila
kemudian ditetapkan secara konstitusional sebagai dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Kebesaran Jiwa
Dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara Republik Indonesia, umat Islam Indonesia memiliki peran dan sumbangsih
yang sangat besar. Digawangi langsung oleh sejumlah ulama dan cendekiawan
muslim otoritatif Indonesia terkemuka kala itu, proses perumusan Pancasila
bukan hanya melibatkan ikhtiar lahir melalui pertukaran ide dan gagasan namun
juga sebagai ikhtiar batin melalui panjatan doa dan kebesaran jiwa. Sejumlah
ulama dan cendekiawan muslim otoritatif terkemuka dari golongan nasionalis
Islam tersebut sebut saja terdapat nama KH. Wahid Hasyim, H. Agus Salim, H.
Abikoesno Tjokrosoejoso, KH. Kahar Muzakir, Ki Bagoes Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo,
Mr. Teuku Mohammad Hassan, dr. Sukiman Wirjosanjoyo, dan Mr. Ahmad Soebardjo.
Peristiwa bersejarah monumental yang menunjukkan tingginya
komitmen kebangsaan dari kalangan umat Islam Indonesia adalah tatkala rumusan
awal Pancasila Sila Ke-1 yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluknya” (sesuai isi Piagam Jakarta atau Jakarta Charter,
22 Juni 1945 sebagai hasil kesepakatan Panitia Sembilan), kemudian diubah
redaksinya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana redaksi Pancasila Sila
Ke-1 pada saat ini. Panitia Sembilan ini terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta,
Muhammad Yamin, KH. Wahid Hasyim, KH. Abdul Kahar Moezakir, Abikusno
Tjokrosoejoso, Agus Salim, A.A. Maramis. Peristiwa bersejarah ini terjadi pada 18
Agustus 1945 setelah melalui dialog tukar ide dan gagasan yang melibatkan
perenungan mendalam serta kebesaran jiwa demi tegaknya persatuan dan kesatuan
bangsa. Umat Islam Indonesia kala itu rela menghapus redaksi 7 kata Sila Ke-1
Pancasila versi awal (Piagam Jakarta) dan kemudian menggantinya dengan redaksi
Sila Ke-1 seperti sekarang ini.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika meminjam istilah
Menteri Agama Republik Indonesia (1978-1983), Letjen TNI (Purn.) H. Alamsjah
Ratoe Perwiranegara, Pancasila merupakan hadiah terbesar umat Islam bagi
kemerdekaan dan persatuan Indonesia (Tajdid.id, 2019). Presiden Republik
Indonesia pertama, Ir. Soekarno (1901-1970) pun berkeyakinan bahwa Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian
kesatuan dengan konstitusi tersebut. Keyakinan Soekarno ini disampaikannya
melalui Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
tentang Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 atau dikenal dengan istilah
Dekrit 5 Juli 1959. Dekrit ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959
(Wijaya, 2022).
Spirit Syura
Jika ditelaah lebih jauh, kesepakatan para pendiri bangsa
(founding fathers) termasuk dari kalangan umat Islam Indonesia mengenai
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia sejatinya merupakan
perwujudan dari praktik musyawarah (syura). Pancasila adalah titik temu yang
terbaik dari berbagai perbedaan yang muncul diantara sesama anak bangsa
mengenai dasar negara. Selain merupakan karakter asli bangsa Indonesia,
musyawarah merupakan bagian dari ajaran luhur agama Islam seperti yang
disebutkan dalam beberapa surah dalam Al-Quran. Seperti, “Dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan
tekad, maka bertawakallah kepada Allah” (QS. Ali Imran: 159).
Selain itu, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka” (QS. Asy-Syûra: 38). “Katakanlah (Muhammad), Wahai
Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama
antara kami dan kamu…” (QS. Ali Imran: 64). “Allah tidak melarang kamu berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan
agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil…” (QS. Al-Mumtahanah: 8-9). “Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah
dengan mereka dengan cara yang baik” (QS. An-Nahl: 125).
Berikutnya, “Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di
antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah
sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa: 58). “Wahai orang-orang yang
beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang
kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa: 59).
Selain itu, beberapa hadist dari Rasulullah Muhammad SAW
juga mengajarkan mengenai pentingnya musyawarah: “Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah
SAW bersabda: Setiap Muslim terikat atas syarat-syarat (yang telah disepakati)”
(HR. Abu Dawud dan Al-Hakim). “Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW bersabda:
Kaum Muslim itu terikat dengan syarat-syarat mereka” (HR. Abu Daud dan
Al-Hakim). Selanjutnya, “Dari Ali ra. Rasulullah SAW bersabda: Orang mukmin itu
memiliki hak yang sama, di antara mereka saling bertanggungjawab terhadap yang
lainnya, berlaku tanggungjawab terhadap orang yang ada di bawahnya. Tidak
dibunuh orang mukmin sebab orang kafir dan tidak dibunuh orang yang berjanji
bersepakat di dalam masa kesepakatannya” (HR. An-Nasai).
Selanjutnya, “Ketika Rasulullah hendak datang dari
bepergian, beliau mempercepat jalannya kendaraan yang ditunggangi setelah
melihat dinding kota Madinah. Bahkan beliau sampai menggerak-gerakan binatang
yang dikendarainya tersebut. Semua itu dilakukan sebagai bentuk kecintaan
beliau terhadap tanah airnya (Madinah)” (HR Bukhari). “Dari Abdullah bin Amr
ra. dari Nabi SAW ia bersabda: Barangsiapa membunuh orang yang dalam lindungan
perjanjian damai maka dia tidak akan mendapatkan bau surga. Sesungguhnya bau
surga tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun” (HR. Al-Bukhari). “Dari
Ibn Abbas ra, Rasulullah bersabda, ‘Wahai Makkah, alangkah indahnya engkau
sebagai negeri dan aku sangat mencintaimu, seandainya kaumku tidak mengusirku
darimu, maka aku tidak akan tinggal di negeri selainmu” (HR. Ibn
Hibban). “Ya Allah, jadikan kami cinta Madinah, sebagaimana cinta kami
kepada Makkah, atau melebihi Makkah” (HR al-Bukhari).
Demikian pula dengan beberapa kaidah fiqhiyyah juga
mengajarkan, “Dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih” (Menolak
kemafsadatan didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan), “Ma laa yatimmul
wajib illa bihii fa huwa wajib” (Sesuatu yang menjadi penyempurna dari perkara
wajib, maka hukumnya juga wajib), “al-Umur bi Maqasidiha” (Perkara itu dinilai
berdasarkan tujuannya), “al-masyaqqah tajlib al-taysir” (Kesulitan
mengakibatkan kemudahan), “La yunkar al-mukhtalaf” (Tidak ditolak perbedaan
pendapat), “ad-dhararu yuzal” (Kemudharatan harus dihilangkan), “al-muhafadhotu
‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” (Memelihara yang lama yang
baik dan mengambil yang baru yang lebih baik), serta berbagai kaidah fikih
lainnya.
Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi (1063-1127
Hijriyah) dalam Ruh Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an juga mengatakan hubbul wathan
minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Ia juga mengutip
perkataan Sayyidina Umar bin Khattab, Khalifah Ke-2 Khalifah Rasyidin (634-644
Hijriyah) bahwa tanpa kecintaan pada tanah air, negeri yang malang pasti
hancur, dan dengan cinta tanah air-lah negeri-negeri dibangun. Kiai Muhammad
Said Ridlwan, salah satu dzuriyyah dan pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo,
Kediri, Jawa Timur, dalam kitab Ad-Difa’ ani Al Wathan min Ahammi al-Wajibati
ala Kulli Wahidin Minna bahwa mempertahankan Tanah Air (wathan) adalah bagian
yang paling penting dari kewajiban bagi setiap orang di antara kita. Dalam
konteks Indonesia, maka umat Islam Indonesia wajib menjaga persatuan dan
kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Negeri Majemuk
Bangsa Indonesia ditakdirkan bangsa yang majemuk. Bahkan
dengan memakai perspektif Robert W. Hefner, profesor antropologi dari
Universitas Boston, Amerika Serikat (AS), bahwa Indonesia termasuk bangsa yang
memiliki tingkat kemajemukan yang ekstrim di dunia, sangat mencolok dan hanya
terdapat di beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki pluralisme kultural
seperti di Indonesia (Azra, 2006). Indonesia diketahui sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia dengan total luas wilayah saat ini menurut Badan Informasi
Geospasial (BIG) dengan Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL mencapai 8,3
juta km2, luas perairan 6,4 juta km2 (77,1%) dan luas daratan 1,9 juta km2
(22,9%).
Per tahun 2024, jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.380
pulau, jumlah penduduk mencapai 282,48 juta jiwa (nomor empat di dunia setelah
India (1,438 miliar jiwa), Tiongkok (1,419 miliar jiwa), Amerika Serikat
(344,48 juta jiwa)), jumlah bahasa daerah sebanyak 720 bahasa, jumlah suku
bangsa mencapai 1.340 suku, jumlah agama resmi yang diakui sebanyak enam agama
(Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Buddha, Khonghucu) serta jumlah kelompok
aliran penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa mencapai 187 kelompok.
Data tersebut menunjukkan bahwa bangsa dan negara Indonesia adalah sangat plural.
Tentunya tidak mudah menjaga, merawat dan mengelola sebuah negara bangsa yang
sebesar dan semajemuk Indonesia.
Tidak hanya dipandang bisa menjembatani pluralitas bangsa
ini, Pancasila juga dinilai mampu merawat dan melindungi keragaman bangsa ini.
Jika tidak dirawat dengan baik, fakta kemajemukan bangsa ini rentan berubah
menjadi riak perpecahan yang akhirnya mengoyak temali persatuan. Pada akhirnya,
potensi disintegrasi bangsa bisa menjadi bencana dan petaka tak terhindarkan
sebagaimana yang terjadi pada sejumlah negara. Kita bisa mencontohkan negara
besar di era modern yang akhirnya terkoyak oleh petaka disintegrasi bangsa
yaitu Uni Soviet dan Yugoslavia. Uni Soviet atau Uni Republik Sosialis Soviet
(URSS) mengalami perpecahan hebat pada tahun 1991 setelah berdiri selama 69
tahun sejak berdiri tahun 1922. Demikian halnya dengan Yugoslavia atau Republik
Federasi Sosialis Yugoslavia yang juga mengalami perpecahan besar dalam rentang
tahun 1991-2006 setelah sempat berdiri kokoh selama 88 tahun dari sejak berdirinya
tahun 1918.
Uni Soviet terpecah menjadi 15 negara, antara lain Armenia,
21 Desember 1991; Azerbaijan, 30 Agustus 1991; Belarus, 25 Agustus 1991;
Estonia, 20 Agustus 1991; Georgia, 9 April 1991; Latvia, 15 September 1991;
Uzbekistan, 1 September 1991; Turkemenistan, 27 Oktober 1991; Ukraina, 24
Agustus 1991; Rusia, 26 Desember 1991; Kirqistan, 31 Agustus 1991; Kazakhstan,
16 Desember 1991; Lituania, 6 September 1991, Moldova, 27 Agustus 1991 dan
Tajikistan, 9 September 1991. Sementara,
Yugoslavia tercabik menjadi enam negara, yaitu Slovenia, 25 Juni 1991; Kroasia,
25 Juni 1991, Bosnia Herzegovina, 30 Maret 1992; Makedonia, 8 September 1991;
Serbia, 5 Juni 2006; Montenegro, 3 Juni 2006. Sengkarut konflik antar anak
bangsa juga masih bergolak di sejumlah negara yang tentunya juga berpotensi
rawan menjadi disintegrasi bangsa, misal saja di Suriah, Irak, Yaman, Sudan,
Myanmar dan sejumlah negara di Afrika dan Amerika Latin.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) membahas tentang fakta
kemajemukan bangsa Indonesia ini pada Sidang Komisi A Pada Sidang Komisi A
Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VI Tahun 2018 di Kalimantan Selatan
tentang “Masalah Strategis Kebangsaan (Masail Asasiyah Wathaniyah)” pada tema
pembahasan Prinsip-Prinsip Ukhuwah Sebagai Pilar Penguatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dalam fatwanya, MUI berpandangan bahwa: (1) Bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, baik suku, ras, budaya maupun agama.
Karenanya bangsa Indonesia sepakat untuk mengidealisasikan bangsa ini sebagai
sebuah bangsa yang majemuk tetapi tetap satu, dengan semboyan bhinneka tunggal
ika.
Dalam sebuah negara yang majemuk, adalah tidak mudah dan juga tidak murah untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, karena masing-masing kelompok memiliki kepentingan dan aspirasi yang bervariasi, yang bisa menimbulkan konflik; (3) Kemajemukan selain bisa menjadi kekuatan bangsa, juga berpotensi menjadi kelemahan yang laten. Oleh karenanya, diperlukan upaya sungguh-sungguh dari berbagai pihak untuk menjaga harmoni dan kerukunan yang selama ini telah terbangun, sehingga terhindar dari munculnya konflik dan perpecahan bangsa; (3) Semua pihak dan komponen bangsa ini harus senantiasa dengan penuh kesadaran menjaga hubungan persaudaraan yang rukun antar sesama Muslim (ukhuwah Islamiyyah), antar sesama anak bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan antar sesama manusia (ukhuwah insaniyah).
Kesepakatan Bersama
Semoga umat Islam Indonesia, dan juga seluruh rakyat
Indonesia, dapat senantiasa menjadi Benteng Pancasila yang kokoh, yakni sebagai
penjaga, pengelola dan pengamal nilai-nilai luhur Pancasila secara murni dan
konsekuen sebagaimana yang dimaksud oleh para pendiri bangsa (founding
fathers). Pancasila bukan hanya dipandang sebagai ideologi negara yang tepat
untuk bangsa sebesar dan semajemuk Indonesia ini, Pancasila juga terbukti sakti
dalam menghadapi berbagai rongrongan yang mencoba mengganggu eksistensi NKRI,
baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Bagi kaum muslimin Indonesia, Pancasila
adalah sebuah titik temu (kalimatun sawa’) atau kesepakatan bersama (common
platform) antar anak bangsa yang sangat pluralistik ini dimana Pancasila harus
senantiasa dijaga, dirawat serta diamalkan. Bahwa menjaga, merawat dan
mengamalkan nilai-nilai Pancasila bagi umat Islam Indonesia merupakan bagian dari
pelaksanaan syariat Islam itu sendiri.
Selain secara substansial Pancasila tidak bertentangan
dengan nilai-nilai agama Islam dan agama apapun, Pancasila juga menjadi pondasi
sekaligus wahana bagi umat Islam Indonesia dan juga umat beragama lain dalam
menjalankan nilai-nilai ajaran agamanya masing-masing di Bumi Indonesia. Yudi
Latif dalam karya bukunya yang monumental Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011) menyebut Pancasila sebagai
warisan jenius nusantara. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas,
rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami, dihayati, dipercaya, dan
diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian-pencapaian agung peradaban
bangsa.
Seperti yang pernah dikatakan cendekiawan muslim, Buya Ahmad
Syafi’i Ma’arif (1935-2022), “Jangan biarkan siapa pun juga yang hendak
menenggelamkan negara ini [Indonesia] dengan mengganti ideologi Pancasila.
Dengan nilai-nilai Pancasila, umat Islam Indonesia telah dapat membumikan
ajaran Islam dengan baik melalui media dasar yang telah disepakati itu. Negara
Pancasila sudah sangat baik. Dengan demikian, negara dengan merk Islam tidak
diperlukan lagi untuk Indonesia.” Demikian pula mantan Presiden Republik
Indonesia (1999-2001), KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (1940-2009) juga pernah
menegaskan, “Tanpa Pancasila negara [Indonesia] akan bubar. Pancasila adalah
seperangkat asas, dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara
yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya pertahankan
dengan nyawa saya.”