Kolom Sri Herwindya Baskara Wijaya : Pers & Etika Jurnalistik: Pelajaran dari Xpose Uncencored Trans7
Pers & Etika Jurnalistik: Pelajaran dari Xpose Uncencored Trans7
Penulis
Sri Herwindya Baskara Wijaya
Pengajar Mata Kuliah Jurnalistik
Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Sebelas Maret Surakarta
ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (www.Alexainfoterkini.com)
Jagat publik Indonesia saat ini masih hangat dihebohkan dengan kasus tayangan Trans7 tentang potret dunia pesantren, khususnya terkait Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur - salah satu pesantren terbesar di Indonesia - dan sosok pengasuhnya, KH. Anwar Manshur. Trans7, salah satu stasiun televisi nasional, sempat menayangkan tentang kehidupan pesantren, Senin, 13 Oktober 2025 dalam program Xpose Uncencored namun dengan konstruksi narasi cenderung “tendensius” bahwa pesantren, khususnya pesantren tradisional, diidentikkan dengan kesan “konservatisme”, bahkan “feodalisme”. Tayangan terkait dipandang oleh banyak pihak, khususnya oleh kalangan pesantren di lingkungan Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan warga Nahdliyin, sebagai tindak praktik meremehkan dan melecehkan kehormatan kalangan pesantren, para kiai, santri dan para alumni pondok pesantren, khususnya Pondok Pesantren Lirboyo.
Terlebih lagi, dalam tradisi Nahdliyin, pesantren adalah soko guru ajaran, ideologi dan kelembagaan jam’iyah dan organisasi, kiai adalah sosok agamawan panutan yang sangat dihormati dan diteladani, serta santri sebagai pelajar agama yang sangat cinta pada para kiai, ilmu, bangsa-negara dan kemanusiaan. Tentu saja, tayangan Trans7 ini memantik respons negatif dari berbagai pihak, khususnya dari kalangan pesantren dan keluarga besar NU, mulai dari lontaran kritik, pernyataan sikap, layangan somasi, ajakan hastag #BoikotTrans7 hingga aksi protes turun ke lapangan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut mengecam tayangan terkait karena dinilai menyinggung dan melecehkan Pondok Pesantren Lirboyo dan pengasuhnya. Program tayangan Xpose Uncencored Trans7 itu juga dipandang menyiarkan siaran informasi yang tidak berimbang dan cenderung penyesatan publik.
Persyarikatan Muhammadiyah, Ormas Islam Modernis terbesar di Indonesia, juga menyayangkan tayangan Xpose Uncencored Trans7 tersebut. Dalam pandangan Muhammadiyah, mempersoalkan pesantren sama dengan mempermasalahkan tugas mulia para ulama dan para nabi sekaligus. Pesantren juga memiliki peran besar dalam mengisi perjuangan kemerdekaan Indonesia dan pembangunan bangsa. Framing berita seperti tayangan Xpose Uncencored Trans7 terkait dapat menimbulkan persepsi negatif publik kepada dunia pendidikan Islam. Untuk itu, Muhammadiyah mengajak semua pihak untuk belajar saling menghargai karena ada batas dalam berekspesi. Ruang digital semestinya menjadi wadah untuk memperkuat persaudaraan, bukan menjadi ladang perpecahan. Muhammadiyah juga mengajak permasalahan terkait agar bisa diselesaikan secara dewasa dalam koridor yang tepat.
Sanksi
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Republik Indonesia turut bersuara terkait polemik tayangan terkait. Komdigi menilai isu ini telah memicu rekasi keras dan melihatnya sebagai isu sensitif yang menyangkut nilai-nilai kepantasan. Dalam konteks ini, Komdigi berperan sebagai regulator kebijakan, pengelola infrastruktur komunikasi dan penjamin ketertiban ruang frekuensi. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia turut menyesalkan atas tayangan Xpose Uncencored Trans7 bersangkutan dan menganggapnya sebagai bentuk kelalaian redaksional yang fatal. Tayangan terkait, kata DPR, bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi mencerminkan rendahnya etika jurnalistik dan ketidakpahaman terhadap nilai-nilai pesantren. Parlemen juga menyampaikan tiga rekomendasi: penghentian sementara program siaran, melakukan audit dan evaluasi hak siar Xpose Uncencored Trans7 dan memberikan sanksi tegas kepada Trans7.
Pihak Trans7 sendiri secara terbuka telah meminta maaf atas tayangan bersangkutan serta melakukan sejumlah langkah, antara lain menghapus tayangan terkait di semua platform elektronik (televisi), media sosial maupun platform digital; memutus kerja sama dengan rumah produksi (production house) yang memproduksi tayangan terkait pada Kamis, 14 Oktober 2025; berencana menghentikan secara permanen program Xpose Uncencored, memberi sanksi tegas kepada pihak internal yang terlibat dalam program terkait; memperketat quality control di internal Trans7 dan akan menayangkan program-program tayangan televisi yang lebih baik.
Manajemen Trans7 juga datang langsung ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Rabu, 15 Oktober 2025, guna bersilaturahmi dan meminta maaf atas mencuatnya kasus terkait dan atas kekeliruan dalam manajemen publikasi tayangan terkait. Pihak Trans7 mengakui kelalaian dalam isi pemberitaan karena tidak melakukan sensor yang mendalam secara teliti materi tayangan terkait dari pihak luar (production house). Pihak Trans7 juga menemui MUI, Selasa, 21 Oktober 2025, dalam rangka menyampaikan permohonan maaf secara resmi karena telah membuat keresahan di masyarakat atas tayangan Xpose Uncencored terkait.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen yang bertugas sebagai regulator penyiaran di Indonesia secara resmi menjatuhkan sanksi kepada Trans7, Kamis, 14 Oktober 2025, berupa sanksi penghentian sementara program siaran Xpose Uncencored. Tayangan Xpose Uncencored dianggap melanggar Pasal 6 Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Pasal 16 Ayat 1 dan 2 huruf (a) Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS). Selain dinilai meresahkan publik, KPI berpandangan program siaran ini juga dianggap melecehkan dan mendistorsi nilai-nilai luhur penyiaran.
Dalam ketentuan P3, lembaga penyiaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan yang mencakup keberagaman budaya, usia, gender, dan/ atau kehidupan sosial ekonomi. Sementara pada ketentuan SPS, program siaran dilarang melecehkan, menghina, dan/ atau merendahkan lembaga pendidikan. Adapun secara khusus pada pasal 16 ayat 2 huruf (a) memuat ketentuan penggambaran tentang lembaga pendidikan harus mengikuti ketentuan tidak memperolok pendidik/ pengajar.
Etika Pemberitaan
Secara normatif pula dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, misalnya pada Pasal 5, disebutkan bahwa pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.Pers juga berkewajiban mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar sebagaimana ketentuan yang disebut pada Pasal 6 huruf (c). Bahkan dalam beriklan pun, sebagaimana tertera pada Pasal 13 huruf a, perusahaan pers dilarang memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 2 juga menyebutkan bahwa penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Pasal 4 juga menyebutkan Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Pasal 5 juga menyatakan bahwa penyiaran diarahkan untuk: huruf (a) yakni menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; huruf (b) yakni menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa; huruf (d) yakni menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa; dan huruf (i) yakni memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab.
Dalam kode etik jurnalistik (KEJ) seperti pada Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) Pasal 1 juga disebutkan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pasal 3 juga memuat aturan bahwa wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Demikian halnya dengan Pasal 8 mengamanatkan agar wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/III/2012 tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber juga menyebut aturan terkait etika pemberitaan, seperti Pasal 2 huruf (a) yakni pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi; huruf (b) yakni berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan; dan huruf (d) bahwa media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.
Demikian halnya dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2024 Tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital Untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Disebutkan pada Pasal 5 disebutkan bahwa perusahaan platform digital wajib mendukung jurnalisme berkualitas dengan: huruf (a) yakni tidak memfasilitasi penyebaran dan/atau tidak melakukan komersialisasi konten berita yang tidak sesuai dengan Undang-Undang mengenai pers setelah menerima laporan melalui sarana pelaporan yang disediakan oleh Perusahaan Platform Digital; huruf (e) bahwa memberikan upaya terbaik dalam mendesain Algoritma distribusi Berita yang mendukung perwujudan jurnalisme berkualitas sesuai dengan nilai demokrasi, kebhinekaan dan peraturan perundang-undangan.
“Jurnalisme Selera Rendah”
Dalam perspektif jurnalistik, pemberitaan pers memang sudah seyogyanya menerapkan prinsip obyektifitas (obyektifity). Dennys McQuail dalam Mass Communications Theory (2003) menyebut secara konseptual obyektifitas berita mengandung dua prinsip utama, yakni faktualitas (factuality) dan impartialitas (impartiality). Faktualitas berarti berita ditulis harus berdasarkan fakta (factual) yang terdiri dari aspek ketepatan dan ketelitian (accuracy), kelengkapan (completeness), relevansi (relevance) dan informasi detail (informativeness). Impartialitas berarti berita tidak boleh memihak, yang terdiri dari aspek keberimbangan (balance) dan pemisahan fakta dan opini secara tegas (neutrality). Agaknya sampai batas tertentu, pihak Trans7 maupun rumah industri yang memproduksi tayangan Xpose Uncencored tidak sepenuhnya menerapkan prinsip obyektifitas ini sehingga menghasilkan berita yang bermasalah.
Journalism’s first obligation is to the truth (Kewajiban jurnalisme pertama adalah pada kebenaran). Demikian elemen pertama dari prinsip jurnalisme yang dikatakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam karyanya yang fenomenal The Elements of Journalism: What News People Should Know and The Public Should Expect (1932). Pers harus selalu menyampaikan kebenaran dalam pemberitaannya tanpa ada kepentingan tertentu. Maka pers dituntut memproduksi berita dengan jujur, obyektif, berimbang. Its essence is a discipline of verification (Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi). Elemen ketiga dari prinsip jurnalisme ini merujuk pada upaya pemeriksaan kebenaran informasi kepada pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Prinsip meliput kedua pihak atau semua pihak (cover both side/all side) mutlak dilakukan guna mendapatkan data yang lengkap, obyektif, presisi dan akurat. Dengan demikian, mewawancarai langsung narasumber terkait wajib dikerjakan oleh pers sebagai bentuk praktik verifikasi data yang sahih, termasuk mendapatkan pandangan dari kalangan ahli di bidangnya.
Semua upaya ini sangat penting dilakukan agar jangan sampai pers terjatuh pada apa yang disebut sebagai “jurnalisme selera rendah”, sebuah istilah yang penulis pinjam dari salah seorang ilmuwan terkemuka ilmu komunikasi Indonesia, Profesor Sasa Djuarsa Sendjaja (2003). Praktik “jurnalisme selera rendah” lebih mengutamakan sensasi (termasuk juga gosip, konflik, seksualitas, mistik) untuk menarik atensi khalayak serta meningkatkan oplah atau rating melalui penggunaan judul dan narasi berita yang provokatif, distorsif dan eksploitatif. Dalam pandangan Paul Johnson lewat karyanya Seven Deadly Sins (1987), “jurnalisme selera rendah” adalah sebagai bentuk penyimpangan pers, diantaranya melalui kapitalisasi distorsi informasi (information distortion) dan dramatisasi fakta palsu (dramatization of false fact), bahkan dapat mengarah kepada pembunuhan karakter (character assassination).
Pesantren, kiai dan santri adalah diantara elemen utama dan sangat penting dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia dimana eksistensinya memiliki sejarah sangat panjang jauh sebelum Indonesia merdeka tahun 1945. Mereka terlibat langsung, intens dan massif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui untaian doa, darah dan air mata, ikut serta secara langsung dalam perumusan, pelaksanaan dan penjagaan ideologi Pancasila, serta berperan aktif dalam berbagai lini dan aras penyemaian dan pengokohan perdamaian kemanusiaan secara global. Memberitakan potret kehidupan pesantren, kiai dan santri secara profesional adalah bukan saja sebagai wujud pelaksanaan atas prinsip-prinsip jurnalistik yang baik, benar dan hakiki, namun juga sebagai manifestasi riil dalam memperkuat nilai-nilai moral, edukasi, toleransi, integrasi, dan harmoni bangsa, negara serta kemanusiaan sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.