Masihkah Two-State Solution Menjadi Jalan Menuju Perdamaian?
Masihkah Two-State Solution Menjadi Jalan Menuju Perdamaian?
ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (www.Alexainfoterkini.com)
SURAKARTA - Presiden Indonesia Prabowo menyatakan dengan tegas dukungan Two-State Solution atau solusi dua negara sebagai upaya penghentian perang serta krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza dengan Israel dan Palestina saling mengakui kemerdekaan dan kedaulatan masing-masing.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Arief Isdiman Saleh, S.I.P., M.Si., Ph.D., menyampaikan bahwa pernyataan tersebut sudah tepat dan sesuai dengan rumusan dan sikap politik luar negeri Indonesia tentang Palestina. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan dasar konstitusi Indonesia yang tertuang pada Pembukaan UUD 1945 yaitu ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi.
Hanya saja, Arief merasa getir dengan pernyataan Prabowo terkait Israel saat sidang umum PBB yang mengatakan “ … tapi kita juga harus mengakui, menghormati dan kita juga harus menjamin keselamatan dan keamanan Israel”. Pernyataan tersebut disambung pada KTT Two State Solution yang menyebut “Indonesia juga menyatakan bahwa setelah Israel mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Palestina, maka Indonesi akan segera mengakui negara Israel dan mendukung segala jaminan bagi keamanan Israel”. Menurut Arief, apapun motif, alasan, dan tujuan yang hendak dicapai melalui pernyataan ini sangat tidak tepat, keliru, dan tidak perlu utamanya dari segi konteks waktu penyampaian.
“Bahkan, saya pribadi termasuk yang menyayangkan, menyesalkan, dan kecewa dengan pernyataan tersebut. Mengapa? Karena pernyataan ini tentu saja menyakiti dan tidak perasaan masyarakat Indonesia yang turut geram dengan apa yang terjadi di Palestina dan Gaza selama 2 tahun ini,” kata dosen Hubungan Internasional UMS itu, Jumat (10/10).
Terkait Two-State Solution, sebagaimana dijelaskan oleh Arief adalah sebagai sebuah formula internasional untuk penyelesaian perang antara Israel dan Palestina dengan cara mendirikan dua negara merdeka, berdaulat, dan diakui oleh dunia internasional di atas wilayah yang dahulunya adalah wilayah mandat Inggris atas Palestina pasca Perang Dunia I.
Solusi dua negara dianggap menjadi solusi yang cukup realistis karena memungkinkan kedua negara untuk hidup secara berdampingan dan damai. Arief sebutkan, ada beberapa prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi dan terbilang cukup berat. Pertama, Israel harus menghentikan pembangunan pemukiman-pemukiman liar dan mendatangkan imigran-imigran Yahudi dari luar Israel. Kedua, kedua belah pihak harus sama-sama mengakui dan menyetujui keberadaan masing-masing ditambah syarat yg pertama.
Akan tetapi Arief menyatakan bahwa meskipun syaratnya tampak sederhana, tidak semua pihak menyetujuinya. Ia mencontohkan, dalam beberapa tahun terakhir kerap terjadi insiden antara penduduk lokal, terutama di Tepi Barat, dengan pemukim ilegal yang dilindungi oleh tentara Israel (IDF). Akibat bentrokan tersebut, tidak jarang warga sipil menjadi korban tewas atau ditangkap.
“Artinya apa ini? Satu pihak (Israel) terbukti tetap ngotot kan? Ini baru dengan two state solution sudah begini? Kalau one-state? Bisa bayangkan? Intinya akan sama saja mau two-state apalagi one-state selama prasyarat yang sederhana dan tadi saya sebutkan tersebut dilanggar seenaknya apalagi secara sepihak oleh Israel,” sindirnya.
Dari kabar terkini, melalui mediasi negara penjamin Amerika Serikat, Qatar, Mesir, dan Turki, Hamas dan Israel pada Kamis (9/10/2025) WIB berunding rencana perdamaian dengan mengawali pembebasan semua sandera dan Israel akan menarik pasukannya ke garis yang telah disepakati. Gencatan senjata menjadi harapan awal perdamaian model Two-State Solution.
Dari kesepakatan tersebut, kedua belah pihak akan melakukan gencatan senjata yang kali ini bersifat permanen. “Upaya untuk menjamin adanya Two-State Solution ini semoga bisa tercapai. Apalagi Presiden Turki Erdogan berharap bahwa baik negara-negara yang bertikai itu bisa menghargai batas-batas yang telah diputuskan pada tahun 1967,” harap Arief.
Arief menggarisbawahi akan kewenangan negara-negara penjamin yang memiliki hak untuk intervensi apabila ada sesuatu hal terjadi dalam pelanggaran perjanjian tersebut. Sehingga ketika sudah ada negara penjamin dan sebagainya, diharapkan akan bisa ditekan sampai terjadi perdamaian yang permanen.
Namun apabila terjadi konflik dan eskalasi, akan menjadi memalukan sekali karena telah berunding dan telah melibatkan negara penjamin, tetapi malah dilanggar. Ia takutkan, apabila terjadi serangan bersenjata, kemudian negara penjamin akan intervensi.
Negara-negara penjamin, pada prinsipnya, memegang hak untuk turun tangan jika perjanjian yang sudah disepakati dilanggar. Kehadiran mereka di atas kertas seharusnya menjadi jaminan bahwa komitmen damai tak sekadar seremoni.
Namun, andai setelah semua seremoni diplomasi selesai, dan serangan bersenjata kembali meletup, maka negara penjamin akan melakukan intervensi. “Itu kan akan menambah panjang konflik. Apalagi negara-negara tersebut terutama Amerika, Turki, Mesir, itu kekuatan militer mereka tidak bisa dipandang remeh. Apalagi Turki dan Amerika itu dari segi kekuatan, kebetulan mereka itu anggota Nato terbesar pertama dan kedua,” ujarnya.
Untuk itu Arief menekankan semua pihak harus benar-benar saling intropeksi serta menahan diri untuk tidak memulai lagi perang atau bahkan tragedi yang semakin hari semakin mengerikan serta di luar batas kemanusiaan. Pihak yang ada dalam proses gencatan senjata juga jangan seolah-olah seperti terpaksa atau bahkan memaksa pihak lain yang lemah untuk mentaati. Ia menekankan pentingnya saling mengakui dan menghormati satu sama lain.
Arief menyayangkan jika kejadian seperti saat Idul Fitri dan Idul Adha tahun lalu diberlakukan gencatan senjata, tetapi tidak lama setelah itu dilanggar kembali. “Dengan sangat menyesal harus saya katakan sekali lagi kalau model Two-State Solution masih jauh panggang dari api,” sesalnya.
Menanggapi tentang model solusi dua negara, menurutnya model tersebut masih relevan, karena itu sudah memenuhi prinsip win-win solution dalam hal resolusi konflik. Namun, untuk mencapainya harus diikuti pula dengan tiga pendekatan atau langkah baru dan sesegera mungkin.
Pertama, reformasi total dalam hal kelembagaan PBB, utamanya dalam hal penggunaan hak veto dan keanggotaan di Dewan Keamanan PBB. Arief menyebut, menurut Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan dalam bukunya yang berjudul “The Fairer World Is Possible”, komposisi anggota tetap Dewan Keamanan PBB itu tidak mencerminkan representasi yang adil.
Bahkan dalam Majelis Umum PBB banyak negara yang mengkritik keberadaan hak veto yang hanya dimiliki oleh Dewan Keamanan PBB yaitu Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Inggris, dan Prancis sebagai pemenang Perang Dunia II. Lalu, usulan yang cukup masuk akal dalam majelis adalah terkait perluasan keanggotaan tetap dalam DK PBB dengan pembatasan penggunaan hak veto untuk beberapa hal termasuk genosida dan pelanggaran HAM.
“Saya kira dua ini cukup bagus. Karena sekali lagi, dunia itu lebih besar daripada 5 negara anggota tetap DK PBB,” tegasnya.
Langkah selanjutnya yang harus segera dilakukan adalah, penegakan hukum internasional dalam pelanggaran HAM berat utamanya kejahatan perang dan genosida harus ditegakkan dengan setegak-tegaknya tanpa tebang pilih. Ketiga, untuk menjamin perdamaian dan penegakan keadilan, perlu rasanya untuk dibentuk suatu lembaga semacam Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang bertugas secara bersama menyelidiki pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-Timur selama masih menjadi bagian dari Indonesia.
“Untuk konteks Israel dan Palestina nampaknya sangat sulit meskipun perdamaian telah dicapai nantinya. Karena lukanya sudah sangat dalam dan harus didahului dahulu dengan poin ke-dua tadi yaitu yang penegakan hukum internasional terhadap para penjahat perang, serta tentunya semua pihak yang berkonflik ini ada kemauan tidak untuk rekonsiliasi dan menyelesaikan apa yang belum selesai? Biarlah mereka yang menjawab,” pungkas Arief. (Maysali/Humas)