News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Memperingati Hari guru Nasional 25 Nopember 2025, bersama Psikolog Soleh Amini Yahman,MSi : Jangan Khianati Guru Kita

Memperingati Hari guru Nasional 25 Nopember 2025, bersama Psikolog Soleh Amini Yahman,MSi : Jangan Khianati Guru Kita

Jangan Khianati Guru Kita

Oleh

Soleh Amini Yahman.Psikolog

Pengurus Dewan Pendidikan Kota Surakrata (DPKS)

Dosen di Universitas Muhammadiyah Surakarta

Guru adalah sosok yang berdiri di garda terdepan peradaban kehidupan. Dari tangan dan ketulusan hati mereka, lahir generasi penerus bangsa yang cerdas dan berkarakter. Di balik keberhasilan setiap insan hebat, selalu ada sosok guru yang berjuang tanpa pamrih, menyalakan lentera ilmu di tengah keterbatasan. Namun, di negeri yang selalu memuliakan pendidikan dalam kata-kata ini, masih banyak kisah getir yang menampar nurani,  kisah tentang bagaimana guru justru dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Salah satu kisah yang mengguncang nurani bangsa terjadi di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Dua orang guru Rasnal dan Abdul Muis menjadi korban ketidakadilan birokrasi dan kriminalisasi hukum hanya karena membela kebenaran. Mereka bukan pelaku kejahatan, bukan penghasut, bukan pemberontak. Mereka hanyalah guru pendidik yang menegakkan nurani untuk memperjuangkan hak rekan sejawatnya. Namun justru karena keberaniannya itulah, mereka ditumbalkan oleh sistem yang seolah kehilangan hati nurani.

Kisah ini bermula ketika Rasnal dan Abdul Muis menyoroti nasib guru honorer di daerah mereka yang sudah 10 bulan tidak menerima honorarium. Mereka hanya menyuarakan keprihatinan , sebuah bentuk solidaritas sesama pendidik. Namun suara mereka dianggap “mengganggu” dan bukannya diapresiasi, mereka malah mendapat sanksi. Keduanya dijatuhi hukuman berat : diberhentikan dengan tidak hormat dari profesi yang telah mereka jalani dengan dedikasi. Lebih ironis lagi, mereka sempat dijerat dengan pasal-pasal hukum yang menodai citra profesi guru itu sendiri.

Inilah potret pahit dari penghianatan terhadap guru,  ketika mereka yang mestinya menjadi teladan justru diperlakukan seperti pesakitan hanya karena berani berkata jujur. Peristiwa ini seakan menggugat nurani kita semua, sudah sejauh mana bangsa ini menghargai guru? Apakah penghormatan terhadap guru hanya berhenti pada slogan “pahlawan tanpa tanda jasa”, sementara kenyataannya mereka terus dibiarkan berjuang sendirian tanpa perlindungan yang nyata?

Guru Rasnal dan Abdul Muis bukan hanya simbol dua individu yang dikorbankan, tetapi cermin dari betapa rapuhnya penghormatan terhadap profesi guru di negeri ini. Mereka mengingatkan kita bahwa menjadi guru di Indonesia tidak hanya membutuhkan ilmu, tetapi juga keberanian moral keberanian untuk tetap berpihak pada keadilan meski risikonya kehilangan pekerjaan, martabat, bahkan kebebasan.

Padahal, dalam setiap ajaran moral dan agama, guru ditempatkan pada posisi yang sangat mulia. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanyalah sebagai guru.” (untuk menyempurnakan ahlak budi pekerti). Dalam tradisi Nusantara, guru adalah sosok yang dihormati dan dimuliakan. Bahkan dalam budaya Jawa dikenal pepatah “guru, ratu, wong tuwa kudu diurmati”, yang berarti guru, raja, dan orang tua wajib dihormati. Ironisnya, nilai luhur ini kini kian memudar dalam praktik kehidupan modern. Guru sering kali terpinggirkan, suara mereka diredam, dan pengorbanan mereka dilupakan.

Kisah tragis seperti yang menimpa Rasnal dan Abdul Muis sesungguhnya bukan yang pertama. Di berbagai daerah, ada banyak guru yang mengalami intimidasi, diskriminasi, bahkan tekanan psikologis karena bersuara untuk kebenaran. Ada yang dipindahkan secara sepihak, ada yang tidak diperpanjang kontraknya, ada pula yang dikriminalisasi karena kesalahpahaman dalam menjalankan tugasnya. Semua ini menciptakan rasa takut dan ketidakpastian di kalangan pendidik, padahal pendidikan hanya akan hidup di ruang kebebasan berpikir dan ketulusan hati.

Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang memiliki gedung tinggi atau teknologi canggih, melainkan bangsa yang menghormati gurunya. Jepang pascaperang dunia kedua adalah contoh nyata.  Ketika negaranya hancur, pertanyaan pertama yang diajukan Kaisar Hirohito adalah, “Berapa jumlah guru yang masih hidup?” Karena ia tahu, selama masih ada guru, bangsa ini masih punya harapan untuk bangkit. Maka, penghianatan terhadap guru sejatinya adalah penghianatan terhadap masa depan bangsa itu sendiri.

Tragedi Rasnal dan Abdul Muis seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah dan masyarakat. Kita perlu menyadari bahwa perlindungan terhadap profesi guru adalah keharusan moral sekaligus tanggung jawab konstitusional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah jelas menegaskan bahwa guru berhak memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan tugas profesionalnya. Namun di lapangan, banyak guru tidak tahu bagaimana menuntut haknya, sementara sistem birokrasi sering kali lebih cepat menghukum daripada melindungi.

Dunia pendidikan membutuhkan ruang yang sehat  di mana guru dapat menyuarakan keadilan tanpa takut dikriminalisasi, dan dapat menegakkan etika profesi tanpa intervensi politik atau kepentingan sempit. Pemerintah daerah harus belajar dari kasus Luwu Utara bahwa menindas suara guru sama artinya dengan membungkam nurani masyarakat. Guru tidak boleh dipaksa untuk diam ketika melihat ketidakadilan karena mendidik pada hakikatnya adalah proses melawan kebodohan dan kebisuan.

Masyarakat pun perlu berperan. Kita harus berhenti menganggap guru hanya sebagai pelengkap sistem pendidikan. Mereka bukan buruh kurikulum yang sekadar menyampaikan materi, melainkan pendidik sejati yang membentuk karakter bangsa. Menghargai guru berarti mendengarkan suara mereka, memperjuangkan kesejahteraan mereka, dan memastikan mereka tidak lagi menjadi korban dari kebijakan yang salah arah.

Hari ini, ketika kita mengucapkan terima kasih kepada para guru, jangan biarkan kata-kata itu hampa. Kita harus memastikan bahwa tidak ada lagi guru yang disakiti karena kejujurannya. Tidak ada lagi guru yang diberhentikan karena solidaritasnya. Tidak ada lagi guru yang dikriminalisasi karena keberaniannya memperjuangkan keadilan. Setiap kali seorang guru dizalimi, maka sesungguhnya bangsa ini sedang menghapus satu huruf dari kitab peradaban bangsa.

Mari kita ingat wajah-wajah mereka Pak Rasnal, Abdul Muis, dan ribuan guru lain yang terpinggirkan oleh sistem. Mereka bukan pemberontak. Mereka adalah pejuang. Mereka tidak menuntut kekayaan atau kemewahan, hanya keadilan dan penghormatan atas profesi mulia yang mereka emban. Mereka hanya ingin melihat bangsa ini tumbuh dari cahaya ilmu, bukan dari ketakutan dan kepalsuan.

Jangan khianati guru kita. Karena ketika bangsa ini berhenti menghormati gurunya, maka bangsa ini sedang berjalan menuju kegelapan.

Guru bukan sekadar pengajar, melainkan penjaga moral bangsa. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sejatinya tak memerlukan medali, cukup dengan keadilan dan rasa hormat yang tulus. Dan selama masih ada guru yang berani menyalakan lilin kebenaran, kita semua punya kewajiban untuk menjaga agar nyala itu tidak padam.

Selamat memperingati hari Guru 25 Nopember 2025. Sejahterakan guru Indonesia.



Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.