Peran Ahli Gizi Sangat Krusial dalam Dapur MBG
Peran Ahli Gizi Sangat Krusial dalam Dapur MBG
Kompetensi ahli gizi menjadi sorotan setelah pernyataan Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal menyebut program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak memerlukan ahli gizi. Pernyataannya dalam forum konsolidasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) MBG di Kabupaten Bandung itu memantik kritik berbagai kalangan yang khawatir akan standar pelayanan gizi program MBG.
Setelah menuai protes publik, Cucun meminta maaf dan mengklarifikasi. Komentarnya bermaksud menyoroti kelangkaan tenaga ahli gizi di lapangan, bukan meremehkan profesi ahli gizi. Klarifikasi disampaikan usai Cucun melakukan pertemuan dengan Badan Gizi Nasional (BGN) dan Persatuan Ahli Gizi (Persagi) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/11/2025).
Meski permintaan maaf telah Cucun sampaikan, namun blunder yang ditinggalkannya masih menjadi buah bibir masyarakat. Benarkah program MBG bisa berjalan tanpa kehadiran ahli gizi?
Menurut Kaprodi Program Studi Profesi Dietisien UMS Dr. Dwi Sarbini, S.ST., M.Kes., tanpa tenaga ahli, penentuan menu MBG rawan miskin gizi serta bahan pangan tak sesuai. Bahkan, pemborosan anggaran karena perhitungan porsi dan kandungan gizi tidak akurat. “Tanpa ahli program besar bisa tetap berjalan, tetapi ketepatan sasaran dan efektivitasnya menurun,” jelas Dwi secara daring, Jumat (21/11/2025).
Kasus Keracunan MBG
Kasus keracunan MBG yang beberapa kali muncul di sejumlah daerah memperburuk kepercayaan publik. Meski penyebabnya beragam, banyak ahli menilai bahwa lemahnya pengawasan dan minimnya tenaga gizi dapat menjadi salah satu faktor risiko. Di titik inilah perdebatan yang dipicu oleh pernyataan Cucun tampak relevan.
Baca juga: Kasus Keracunan MBG Bukan Sekadar Angka
“Ilmu gizi bukan perkara apa saja yang bisa dipelajari lewat pelatihan singkat. Ada perhitungan matematis, pemetaan kebutuhan nutrisi, hingga kemampuan menganalisis perbedaan kebutuhan energi antarwilayah dan antarkelompok usia,” jelas Dwi yang juga merupakan tim penyusun MBG Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Gizi buruk bisa dipicu oleh salah kelola program makan, terutama ketika menu disusun tanpa perhitungan ilmiah oleh ahli gizi. Menu tampak beragam, tapi sebenarnya miskin nutrisi.
Temuan awal tim MBG PP Muhammadiyah memperkuat apa yang juga diakui pemerintah. Seperti variasi harga bahan pangan dan ketersediaan sumber protein di tiap daerah berbeda-beda, begitu pula kemampuan dapur lapangan dalam mengolah makanan. Kondisi ini membuat keberadaan ahli gizi semakin krusial.
“Tanpa perhitungan gizi yang tepat, menu tampak sederhana tapi tidak memenuhi kebutuhan nutrisi minimal,” kata dia.
Peran Ahli Gizi Tak Bisa Digantikan
Menurut Dwi, kompetensi seorang ahli gizi hanya dapat diperoleh melalui pendidikan profesi dengan dasar etik dan tanggung jawab hukum. Kompetensi mereka tak bisa didapatkan dari pelatihan singkat, sehingga perannya pun tak bisa digeser oleh tenaga tanpa latar belakang ilmu gizi.
Ahli gizi bertanggung jawab memastikan menu MBG memenuhi AKG, menghitung kebutuhan porsi, memilih bahan pangan yang aman dan terjangkau, serta mengawasi proses penyimpanan dan pengolahan agar higienis. Jika benar peran ahli gizi dihapus atau digantikan tenaga nonprofesional, risiko yang muncul akan berakibat fatal.
“Menu MBG bisa-bisa tak seimbang gizinya, terkontaminasi, adanya ketidakcocokan asupan energi dengan kebutuhan anak, hingga potensi kasus keracunan makanan, dan merosotnya efektivitas program dalam jangka panjang,” kritik Dwi.
Dwi juga menyinggung keterlibatannya sebagai tenaga ahli dalam program MBG PP Muhammadiyah. “Tim kami menyusun pedoman teknis, standar menu berbasis pangan lokal, model perhitungan kebutuhan gizi, hingga rancangan implementasi dan pemantauan,” imbuhnya.
Program Makan Bergizi Gratis PP Muhammadiyah tersebut melibatkan akademisi, praktisi gizi, dan ahli pangan. Pendekatan yang kolaboratif dan berbasis data seperti ini disebut Dwi sebagai bentuk ideal bagaimana negara seharusnya menjalankan MBG.
Dalam program MBG, negara perlu menerapkan standar yang tegas agar kualitas gizi tetap terjaga. Dwi menekankan, penyusunan menu harus berbasis AKG dan kebutuhan kelompok sasaran, sementara keamanan pangan wajib dijaga sejak tahap penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi.
Ia juga menyoroti pentingnya keanekaragaman pangan lokal agar program relevan dan efisien di setiap daerah, serta perlunya monitoring dan evaluasi berkala oleh tenaga ahli. Selain itu, mekanisme dapur dan distribusi harus higienis, terukur, dan terdokumentasi.
“Standar ini menjadi pondasi agar MBG tak sekadar menjadi proyek makan massal, tetapi benar-benar berfungsi sebagai intervensi gizi yang efektif,” ujar Dwi mengingatkan.
Program MBG Perlu Penguatan Regulasi
Selain menerapkan standar pelayanan gizi, Dwi menyarankan agar pemerintah memperkuat sistem pendukung agar kualitas program berjalan kuat pada konsep dan pelaksanaan. “Yang pertama, sudah pasti pentingnya penyusunan mekanisme rekrutmen tenaga gizi yang jelas dan proporsional,” kata dia.
Kedua, perlunya penetapan jumlah minimal tenaga gizi di setiap wilayah agar pelaksanaan program lebih terukur. Ketiga, menyediakan sistem supervisi berjenjang yang melibatkan puskesmas, dinas kesehatan, dan institusi pendidikan. Keempat, kolaborasi lintas sektor yang akan memperkuat kualitas pelaksanaan.
Ditambah, menurut Dwi, Indonesia memang memiliki regulasi terkait tenaga gizi, termasuk standar kompetensi dan pedoman penyelenggaraan makanan institusi. Sayangnya, penerapan tersebut masih jauh dari ideal.
“Gizi seimbang dalam program sekelas MBG akan terwujud jika terdapat penguatan pada mekanisme penempatan dan pengawasan tenaga gizi profesional,” jelasnya. Koordinasi antara BGN, Persagi, Kemenkes, dan pemerintah daerah juga perlu diperkuat.
Dalam banyak pemberitaan, beberapa dapur MBG kerap diduga berlangsung tanpa supervisi memadai dari tenaga gizi. Memperbesar risiko kesalahan teknis dan penurunan mutu layanan. Tanpa pengawasan profesional, tujuan mulia pemerintah untuk memperbaiki status gizi rakyatnya kecil kemungkinan bisa betul-betul moncer.