Purbaya Effect: Bukti Bangkitnya Ekonomi atau Sinyal Gelembung Baru di Pasar Modal Indonesia?
Purbaya Effect: Bukti Bangkitnya Ekonomi atau Sinyal Gelembung Baru di Pasar Modal Indonesia?
SURAKARTA - Dalam enam bulan terakhir, IHSG atau Indeks Harga Saham Gabungan menembus rekor dan aksi jual asing mereda. Pergantian Menteri Keuangan disebut menjadi pemicu “Purbaya Effect”, Ekonom Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Anton Agus Setyawan, S.E., M.Si., menilai penguatan pasar ini lebih dipicu persepsi psikologis investor terhadap gaya Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang dinilai lebih agresif mendorong realisasi anggaran.
Menurutnya, pasar memandang Purbaya berbeda dari Sri Mulyani yang dikenal berhati-hati mengelola fiskal. “Pasar melihat Purbaya sebagai menteri yang ngejar realisasi anggaran. Itu sinyal riil bagi perekonomian, dan investor menilainya positif,” ujarnya Senin (15/12).
Ia menambahkan bahwa penguatan IHSG lebih menggambarkan ekspektasi, bukan fundamental ekonomi yang telah berubah. Para pelaku pasar yang masuk saat ini pun masih didominasi investor finansial, sementara investasi langsung membutuhkan waktu lebih panjang. Penerimaan pasar terhadap Purbaya menjadi penanda bahwa arah kebijakan fiskal dianggap lebih pro pertumbuhan dan lebih berani dalam eksekusi anggaran.
Kebijakan penyaluran kredit Rp 200 triliun ke Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) dinilai telah memaksa perbankan menurunkan suku bunga. Namun sektor swasta masih cenderung menahan ekspansi karena lemahnya daya beli dan kewaspadaan global. “Efek kebijakan itu tidak bisa instan. Paling cepat kita lihat hasilnya di triwulan pertama 2026,” ungkapnya.
Di sisi konsumsi rumah tangga, pemerintah telah menggelontorkan berbagai stimulus mulai dari Bantuan Langsung Tunai (BLT), subsidi upah, program magang hingga perpanjangan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun pemulihan daya beli disebut masih bertahap dan akan sangat bergantung pada kecepatan perputaran ekonomi di sektor riil.
Ia menilai langkah pemerintah memanfaatkan dana sitaan korupsi sebagai terobosan penting bagi masa depan fiskal Indonesia. Presiden memutuskan agar dana sitaan tidak seluruhnya masuk kas negara, melainkan langsung dialokasikan ke program strategis seperti Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). “Presiden tidak tergoda memakai uang sitaan korupsi untuk hal jangka pendek. Dana itu dimasukkan ke LPDP, dipakai untuk beasiswa dan riset. Ini investasi jangka panjang yang hasilnya baru terlihat puluhan tahun,” tegasnya.
Menurutnya, kebijakan tersebut menunjukkan keberanian pemerintah mendorong transformasi ekonomi berbasis inovasi. Ia menyebut bahwa negara-negara yang kini unggul secara industri, seperti Cina, sudah memulai investasi besar-besaran dalam riset sejak tahun 1980–1990-an, dan Indonesia kini mulai mengikuti arah yang sama.
Di sektor hulu, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai mulai menunjukkan efek rambatan. Permintaan komoditas tertentu meningkat, sehingga petani mulai menanam sayuran dan tanaman lain yang dibutuhkan program tersebut. Selain itu, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) juga menyerap tenaga kerja muda, terutama sarjana gizi dan akuntansi di berbagai daerah.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa perekonomian Indonesia masih harus menghadapi tantangan 2026, terutama ketidakpastian global, beban fiskal yang tinggi, serta kebutuhan anggaran pemulihan pasca bencana di sejumlah wilayah. Kondisi harga komoditas dunia yang stagnan turut membatasi ruang fiskal pemerintah.
Kendati tantangan besar masih menunggu, ia tetap optimistis Indonesia dapat mempertahankan pertumbuhan pada kisaran lima persen. “Kita ini lepas setang saja 5%. Jadi kalau arah kebijakan konsisten dan eksekusinya riil, kita bisa menjaga pertumbuhan di atas 5%,” tutupnya. (Al/Humas)