News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Mondoklah, maka Engkau akan Mengerti

Mondoklah, maka Engkau akan Mengerti

 


Mondoklah, maka Engkau akan Mengerti

Disiapkan oleh Gus M. Dian Nafi', Pengajar di Pondok Pesantren Al-Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo untuk Kang Eko Prasetyo


Setiap kali anak Halim bertanya, Ayahnya selalu menjawab “Mondoklah, maka engkau akan mengerti.” Yang dimaksud dengan mondok adalah belajar dengan cara mukim di dalam pondok pesantren.

Anak Halim pernah bertanya tentang api yang ada di Gunung Warak, sekitar 5 kilometer di selatan dusunnya. Selepas Isyak pemandangan kebakaran ada di hutan kaawasan anak gunung Lawu sisi utara itu. Anak Halim bertanya kepada ayahnya, “Ayah, apakah ada orang yang tinggal di Gunung Warak malam hari begini?” Ayahnya menjawab: “Tidak ada”. 

Si anak bertanya lanjut, “Kok di sana ada api besar yang menyala, siapa yang menyalakannya”.  Ayahnya menjawab: “Mondoklah, maka engkau akan mengerti.” 

Jawaban itu selalu muncul untuk berbagai pertanyaan si anak. Saat anak itu melihat kereta api yang berhenti di Stasiun Kedungbanteng, ia melihat orang turun dari ruang kemudi, kemudian mengambl ember yang menggantung di sisi lokomotif, memutar kran dan ternyata menampung air panas. Setelah agak penuh, ember itu dibawa ke kamar mandi stasiun.

Anak itu berpikir, mungkin air panas itu dipakai untuk mandi si Masinis. Si anak bertanya kepada Sang Ayah “Apakah ada tungku pembakar di lokomotif kereta api itu?” Ayahnya menjawab: “Mondoklah, maka engkau akan mengerti.” Anak itu jadi sibuk mengamati lokomotif itu. Halim hanya membiarkannya saja, mengawasi dari peron stasiun. 

Begitu pula saat melihat sesosok binatang yang persis ular bertengger di sungai jernih yang disebut sebagai sungai Preh, di belakang rumah Pak Lasimin, Penilik Sekolah di Kecamatan Gondang, Sragen. 

Juga saat menyaksikan katak-katak kecil yang berlarian dikejar-kejar ikan di kolam milik Sang Kakek. Anak itu juga heran melihat Sang Nenek menjemur aneka cabe panenan di ladang sehingga kering, siapa yang akan menikmati cabe kering itu? Tanya si anak di dalam benaknya. 

Ia lebih heran melihat cara pamannya mendapatkan banyak belut dengan cara memasang bubu di sudut-sudut sawah Kakeknya. Anak itu ditingkahi pertanyaan “Mengapa belut-belut itu mau masuk ke dalam jebakan?”

Saat melihat orang-orang yang tidur di pasar, kuli stasiun bisa mengangkat barang-barang berukuran sangat besar dan berat, cara berjalannya kereta-kereta api agar tidak bertabrakan saat melaju di alur rel yang tunggal padahal berlawanan arah, cara pengiriman surat dan uang melalui Kantor Pos dari kota-kota besar ke dusun, dan masuknya suara RRI Surakarta dan BBC London ke radio milik Sang Ayah. 

Semua itu dijawab standar dan datar “Mondoklah, maka engkau akan mengerti.” Semua tanpa beban. Mudah. Sekaligus menantang. Ada apa dengan mondok? Itulah yang kemudian mengisi benak si anak Halim dalam setiap harinya. 

Maka, si anak itu membuka-buka rak di sebelah meja baca Sang Ayah. Ada buku tulis yang bertarikh 1954 dan tertera nama Ayahnya. Itu buku catatatn belajar Ayahnya saat mondok di Watucongol, Muntilah, Magelang, dalam asuhan KH Muhammad Dalhar yang sangat terkenal. 

Kakek, Nenek, Paman dan Bibi menyebut nama Kiai ini dengan penuh hormat. Saat orang berdebat, Kakek kadang berkata “Kiai Dalhar tidak setuju begitu.” Semua terdiam. 

Ada lagi nama-nama besar yang nyaris selalu disebut di surau Kakek dan Halim menjadi imam utama di situ, Kiai Hasyim Asy’ari Tebuireng, Kiai Manshur Popongan, Kiai Makruf Jenengan, Kiai Dimyathi Tremas, Kiai Maksum Lasem, Kiai Siroj Panularan, Kiai Umar Mangkuyudan, dan puluhan kiai yang lain.  

Itulah nama-nama yang menghentikan perdebatan di keluarga Halim dan Mertuanya. Anak Halim menerawang. Ia membayangkan betapa indahnya jika dapat berjumpa dengan para Kiai itu. Tergambar di benaknya itulah tokoh-tokoh besar gudang ilmu dan kebijaksanaan. Mereka juga para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Dan segera kembali ke pondok pesantren begitu perjuangan fisik selesai.

Para Kiai itu kembali tekun di pondok pesantren untuk mengajar para santri, membimbing warga masyarakat, mendidik anak-anak kecil untuk hidup bersih dan sehat dengan bersuci, memilih makanan minuman yang halal dan baik, berbahasa krama inggil atau Bahasa Jawa halus. 

Para Kiai itu juga melatih anak-anaknya siapa saja yang ikut bergabung di dalam pembelajaran di pondok pesantrennya dengan aneka ragam kecakapan hidup mulai dari menyeduh teh, menyajikannya untuk para tamu, mencuci peralatan makan minum, menyambut tamu, bertegur sapa, menyanyikan lagu kebangsaan, menyanyikan tembang-tembang Macapat dalam Bahasa Jawa, dan kerja bakti membersihkan lingkungan. 

Anak-anak yang tergabung dalam pembelajaran pondok pesantren itu disebut sebagai santri. Mereka terbagi ke dalam kelompok-kelompok belajar sesuai dengan kemampuannya, bukan umurnya. Maka, biasa terjadi anak-anak SD/MI bergabung dengan anak-anak SMP/MTs dan SMA/MA/SMK dalam Kelas Safinatun-Najah, kelas Fiqh Dasar di pondok pesantren. 

Semua bergembira menjalani pengelompokan itu, karena mereka sadar, setiap jenjang kelas ada tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Murid kelas Safinatun-Najah yang pandai bisa berperan sebagai wakil muadzin, karena tugas sebagai muadzin diserahkan kepada santri dari Kelas Fathul Qarib, itu rombongan belajar yang sudah ‘lebih pandai’ di bidang fiqh.

Di kelas Taqrib sebutan lain untuk Fathul Qarib, sudah diajarkan Ushul Fiqh, teori hukum Islam. Juga ilmu tafsir dan ilmu hadits. Itu sudah mebanggakan sekali bagi anak si Halim. 

Yang belajar di kelas Bughyatul-Mustarsyidin tampak lebih hebat. Mereka sudah dianggap lebih tinggi lagi. Sebutan mereka tidak hanya ‘Kang’, sebagian sudah disebut ‘Pak Guru’ karena mengajar di kelas Safinatun-Najah dan wakil guru di kelas Taqrib.

Hanya dalam masa enam tahun sudah terjadi penjenjangan wewenang yang terlihat nyata. Para santri sudah tertata ke dalam tertib tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Itulah uniknya pondok pesantren. 

Di dalam proses itu ada kelas yang paling disiplin. Itulah Kelas Alfiyah. Gurunya memancarkan wibawa khusus. Sehari para santri kelas bisa berkumpul dua sampai tiga kali untuk menyegarkan hafalan kitab gramatika Bahasa Arab berisikan seribuan bait karya Ibnu Malik itu. 

Ada yang membuat anak si Halim berdebar. Di kanan kirinya ada juga yang berbeda sama sekali, padahal mereka juga santri pondok pesantren tempatnya belajar. Kamar mereka sengaja disendirikan, bersih, rapi dan senyap. 

Mereka adalah para santri yang belajar di kelas Tahfidh Al-Quran dan Ihya’ ‘Ulumiddin. Itulah puncak kelas di pondok pesantren anaknya si Halim. Jika mengambil kompetensi Al-Quran, maka berjalur pada Kelas Tahfidh Al-Quran. Jika mengambil kompetensi kitab, maka bermuara pada Kelas Ihya’. 

Pecis mereka rata-rata mendongak ke atas di bagian depannya, seperti pertanda mereka banyak berpikir dan sekaligus menunduk. Sarungnya halus-halus. Mereka banyak berpuasa. Cara berjalan mereka lebih teratur. Sorot mata mereka fokus. Merekalah yang berada di kanan kiri Kiai saat berlangsung pertemuan seluruh santri. Wibawa mulai terpancar dari wajah mereka.  

Mereka pula yang ada di posisi ketua kelompok setiap ada kerja bakti besar melibatkan seluruh warga pondok pesantren. Mereka pula yang paling sibuk jika ada kunjungan seorang kiai besar dari pondok pesantren lain. 

Tugas mereka terlihat jelas di dalam penglihatan anak si Halim, tetapi si anak dusun ini sulit membayangkan untuk menjangkaunya, karena di tingkatan itu para santri sudah mewakili Kiai untuk urusan pondok pesantren di berbagai acara di instansi Pemerintah. 

Para santri tingkat atas ini juga mewakili almamater pondok pesantren dalam acara-acara para Kiai muda dalam acara Bahtsul Masail Diniyah antarpondok pesantren atau di Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Kitab-kitab yang mereka bawa tebal-tebal. Semua berbahasa Arab tanpa harakat, alias Arab gundul. 

Setiap pulang dari tugas-tugas itu, para yunior kadang diberi kesempatan untuk berkumpul di depan kamarnya. Mereka mendengarkan oleh-oleh kisah dari berbagai pertemuan terhormat di luar pondok mereka. Itulah cara para santri memperbarui informasi penting tentang berbagai tema aktual. 

Tugas di pondok pesantren itu terentang panjang, sejak mengurus tugas diri sendiri sampai ikut mengurus penyelenggaraan pondok pesantren dan kelangsungannya. Ada banyak pelajaran dan rincian kegiatan yang harus dijalani. 

Mulailah anak si Halim mendapatkan jawaban satu persatu atas pertanyaannya sejak kecil, sebelum mondok. Di pondok pesantren ia juga belajar Fisika dan Biologi dari guru-guru yang kemudian menjadi Guru-guru Besar di Universitas Sebelas Maret. 

Seniornya ada yang berhasil menjadi perwira tinggi di TNI Angkatan Darat dan Angkatan Udara, juga menjadi dokter dan insinyur terpandang. Yang menjadi Kiai ada puluhan orang. Para juragan tamatan pondok pesantrennya juga biasa hadir di acara-acara almamater itu. Itulah ‘masa depan’ para santri yang tekun belajar, menempa diri dan mengikuti program mondok dengan baik. Begitu simpul anaknya Si Halim. 

“Mondoklah, maka engkau  akan mengerti.” Itu terus saja terngiang di benak anaknya si Halim. Ia juga belajar: “Jika banyak memahami, maka orang akan menjadi tenang menjalani kehidupannya.”

Tags

Masukan Pesan

Silahkan masukan pesan melalui email kami.