KOLOM Pemilu : Mengurai Benang Kusut Pemilu Inklusif oleh Agus Sulistyo Kordiv P2H Bawaslu Kota Surakarta
Mengurai Benang Kusut Pemilu Inklusif
Agus Sulistyo
Kordiv P2H Bawaslu Kota Surakarta
ditulis kembali oleh Eko Prasetyo (www.Alexainfoterkini.com)
“Pemilu inklusif bukan hanya menyediakan jalur landai di TPS, tapi juga membuka jalan pikiran masyarakat agar melihat disabilitas sebagai bagian utuh dari bangsa”
Mengarusutamakan kesetaraan di era demokrasi digital seperti sekarang ini bukan lagi pilihan, tetapi sebuah keharusan sejarah ketika akan menghadirkan demokrasi yang bermartabat. Karena demokrasi elektoral substansinya bukan hanya soal angka partisipasi, tetapi juga tentang makna keadilan dan kesetaraan. Negara harus hadir bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk mereka yang hidup dengan ragam disabilitas.
Dialektika Pemilu inklusif sudah saatnya bukan lagi sekadar fasilitasi secara fisik dan agenda teknis administratif, melainkan dapat memastikan tidak ada suara yang terbungkam. Namun, kenyataannya jalan menuju pemilu inklusif masih panjang. Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah berupaya menghadirkan TPS ramah disabilitas, beragam hambatan masih mengganjal partisipasi bagi kelompok ini.
Setiap warga negara memiliki hak yang sama tanpa kecuali. Meskipun hanya menggunakan hak suara, menuju bilik suara sering kali masih penuh tantangan bagi penyandang disabilitas. Belum lagi jika TPS tidak aksesibel, dan minimnya pendamping. Belum lagi banyaknya fenomena pemahaman yang minim tentang disabilitas oleh penyelenggara adhoc. Pun demikian bagi pemilih tuna netra misalnya, ketersediaan template surat suara braille sering kali terbatas.
Sedangkan hambatan pemilih tuna rungu biasanya mengalami kesulitan memahami sosialisasi dengan metode ceramah. Belum lagi dengan penyandang disabilitas intelektual, sependek pengetahuan penulis belum ada metode sosialisasi yeng tepat. Persoalan dari hulu ke hilir tentang pemilu inklusi menjadi problem laten yang tak kunjung selesai dan selalu saja berkutat diantaranya masalah akurasi data pemilih, akses fisik, informasi, dan stigma sosial.
Akurasi Data Pemilih Disabilitas
Akurasi data pemilih disabilitas bermula dari sejauhmana data pemilih disabilitas valid, mutakhir dan terverifikasi dengan baik. Kendala administratif akurasi data pemilih disabilitas ini kerap menjadi sorotan dimana masih saja menjadi persoalan administratif serius.
KPU mencatat, lebih dari 200 ribu pemilih disabilitas belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024. Hal ini dikarenakan kendala verifikasi yang belum sinkron. Fenomena lainnya terdapat disabilitas yang tidak terdata karena tidak memiliki e-KTP atau belum terverifikasi kondisi disabilitasnya. Padahal basis data yang akurat akan menjadi fondasi penting untuk memastikan setiap warga disabilitas mendapat fasilitas, undangan memilih serta hak politiknya terlindungi.
Dari sisi penyelenggaraan pemutakhiran data pemilih, Petugas Pemutakhiran Pendataan Pemilih (PPDP) pada saat melakukan coklit perlu mempunyai wawasan pemilu inklusif. Dalam melaksanakan coklit sebenarnya dapat dilakukan kolaborasi dengan lembaga berbasis komunitas difabel dengan Pendekatan partisipatif. Dengan pendekatan ini dapat memastikan setiap individu disabilitas dapat masuk terdaftar sebagai pemilih. Jika PPDP berwawasan pemilu inklusif maka data yang diperoleh tidak akan salah sasaran. Pendataan dilakukan melalui jejaring komunitas ini menjadi alternatif yang perlu dipertimbangkan.
Akses Fisik Masih Menjadi Tantangan
Aksesibilitas tempat pemungutan suara (TPS) masih menjadi persoalan klasik. Di banyak daerah, TPS belum menyediakan jalur landai bagi pengguna kursi roda, bilik suara terlalu tinggi, serta area yang sulit dijangkau oleh penyandang disabilitas fisik. Berdasarkan rilis Bawaslu RI 2024, sekitar 37 persen TPS di Indonesia belum memenuhi standar akses bagi penyandang disabilitas. Banyak TPS dibangun di halaman rumah warga, gang sempit, atau permukaan tidak rata. Akibatnya, sebagian pemilih disabilitas terpaksa meminta bantuan orang lain untuk mencoblos, artinya kerahasiaan suara mereka tidak sepenuhnya terjamin.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya telah mengatur standar aksesibilitas TPS melalui Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023. Namun, praktik di lapangan perlu dilakuakn evaluasi yang komprehensif agar pelaksanaannya ideal sesuai yang diharapkan. “Kami masih menemukan TPS yang tanpa jalur landai, bilik suara terlalu tinggi, bahkan jarak antar-meja yang sempit,” ungkap Agus Sulistyo, Kordiv P2H Bawaslu Solo pengalaman atas temuannya saat melakukan pengawasan pada Pemilu 2024 yang lalu.
Tempat Pemungutan Suatra (TPS) harus dapat memastikan akses fisik. TPS harus mudah dijangkau, memiliki jalur landai dan layak dilewati kursi roda, bilik suara dengan ketinggian yang disesuaikan (minimal 80 cm), serta pendamping disabilitas yang terlatih.
Sementara itu penggunaan ukuran dan ketinggian meja di bilik suara harus dapat memberi ruang kursi roda dapat masuk tanpa hambatan. KPU semestinya mendorong pembuatan TPS Inklusif dengan standar tertentu, seperti area yang datar, pencahayaan cukup, dan petugas yang memahami etika berinteraksi dengan disabilitas.
Informasi Pemilu Belum Ramah Disabilitas
Keterbatasan akses informasi juga menjadi penghambat besar. Sosialisasi pemilu sering tidak disajikan dalam format yang ramah disabilitas. Pemilih tunanetra membutuhkan informasi dalam huruf braille atau audio, sementara pemilih tuli memerlukan penerjemah bahasa isyarat dalam setiap kegiatan sosialisasi.
Berdasarkan catatan Komisi Nasional Disabilitas (KND), hanya 55 persen kegiatan sosialisasi Pemilu 2024 yang menyediakan akses bagi disabilitas sensorik seperti bahasa isyarat, teks visual, atau huruf braille. Hal ikhwal metode sosialisasi ini menjadi tantangan serius pada Pemilu 2029 yang akan datang. Jangan sampai justru menambah daftar inventarisasi masalah.
Pendidikan pemilih (voter education) juga belum menyentuh semua kelompok disabilitas. Pemilih tuli, tunanetra, dan penyandang disabilitas intelektual masih kesulitan memahami tahapan pemilu karena minimnya media informasi yang inklusif. Masalah serupa juga terjadi pada penyandang disabilitas intelektual. Mereka butuh metode edukasi visual dan pendampingan yang berkelanjutan agar memahami proses pemilu secara sederhana dan mudah.
“Wa bil khusus teman-teman tuli, kalau penyampaian sosialisasinya tidak pakai penerjemah (Bahasa isyarat), teman-teman tuli hanya bisa melihat gerak bibir. Dan ini bagi pengawas pemilu bisa menimbulkan kerawanan tersendiri, karena berpotensi bisa salah tangkap,” ujar Agus Sulistyo Kordiv P2H Bawaslu Solo.
Tembok Tinggi Stigma Sosial
Selain persoalan teknis, terdapat hambatan paling mendasar yang tak kasat mata yaitu stigma sosial. Banyak dikalangan masyarakat bahkan keluarga masih menilai penyandang disabilitas tidak layak memilih karena dianggap tidak memahami urusan politik. Pandangan semacam itu menunjukkan bahwa inklusifitas bukan hanya soal fasilitas fisik, tetapi juga soal kesadaran sosial yang belum tuntas.
Jika stigma sosial tersebut berurat akar menjadi dalil dari pihak keluarga penyandang disabilitas, maka hal ini akan menjadi tantangan tersendiri. Keluarga difabel perlu menjadi sasaran pendidikan pemilih yang diharapkan dapat berperan aktif mendorong keterlibatan disabilitas dalam dunia politik dan kontestasi. Karena jika kita melihat keterlibatan penyandang disabilitas dalam dunia politik, ternyata juga masih terbilang rendah.
Berdasarkan data Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), hanya 0,04 persen calon legislatif di Pemilu 2024 berasal dari kelompok disabilitas. Padahal, keberadaan wakil dari kelompok disabilitas sangat penting untuk memperjuangkan kebijakan yang berpihak dan memahami tantangan riil di lapangan.
Pada akhirnya mengurai benang kusut Pemilu inklusif bukan hanya menyediakan jalur landai di TPS, tapi juga membuka jalan pikiran masyarakat agar melihat disabilitas sebagai bagian utuh dari bangsa. KPU, Bawaslu, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil perlu bekerja bersama menghadirkan pemilu yang bukan hanya aksesibel di atas kertas, tetapi juga praktek nyata di lapangan. Allahu a’lam bi Showab.